Senin, 14 Januari 2019

TIGA JURUS CINTA LITERASI DI SEKOLAH ATAS BUKIT


Banyak yang berpendapat bahwa menjalankan program literasi itu tak semudah membuatnya, kenyataan  yang tak seindah teori. Berbagai keluhan yang disampaikan beberapa pihak sekolah -sebagai sasaran gerakan literasi- dalam mempraktekan program yang dicanangkan pemerintah ini, cukup meramaikan serba-serbi dunia pendidikan Indonesia. 
Ratusan juta dana  telah digelontorkan untuk memberikan pelatihan para guru untuk mendukung GLS(Gerakan Literasi Sekolah) ini. Ribuan buku dicetak dan  disebar dalam rangka memutus rantai predikat negara dengan penduduk rendah minat baca. Namun masih ada masalah di sana sini. Mulai masalah sarana prasarana, kurangnya bahan bacaan siswa, kemampuan guru berliterasi yang tidak merata, dan segudang masalah lainnya. Masalah-masalah yang sebenarnya lebih pada alasan-alasan yang justru menghambat keberlangsungan program GLS.  Masalah-masalah yang sering dihadirkan (yang kadang) tanpa ada solusi yang dapat dipecahkan.
Masalah di atas muncul berawal dari kesalahan memahami konsep atas tolak ukur keberhasilan dan kesuksesan sebuah GLS. Kebanyakan masih berfikir bahwa kesuksesan GLS itu dinilai dari kelengkapan, kebagusan dan hasil materi suatu program, bukan pada substasi atau esensi GLS itu sendiri.
  Perlu penyamaan paradigma, bahwa kesuksesan GLS  tidak tepat jika diukur dari  bagus dan lengkapnya perpustakaan sekolahnya, dari banyaknya program literasinya. Keberhasilan GLS juga tidak bisa hanya dilihat  dari banyak buku yang berhasil diterbitkan siswa maupun gurunya,  bukan pula dari banyaknya piala yang diperoleh sekolah itu dalam bidang literasi. 
Namun, kesuksesan GLS  dapat dilihat dan dirasakan dalam menciptakan  kesadaran siswa berliterasi,  yang kemudian menjadi budaya yang mengakar kuat sebagai identitas generasi bangsa. Literasi  yang mengantarkan mereka menjadi para pembelajar sejati. Literasi yang mematik mereka untuk berkarya dengan kesadaran (bukan dengan paksaan apalagi iming-iming prestisius berupa penghargaan dan piala). Literasi yang memberi dampak kebaikan yang mereka akan rasakan kebermanfaatan  dalam kehidupannya.
Keberhasilan dan kesuksesan literasi memang bukan sebuah hal instan yang langsung kita bisa lihat hasilnya, namun diperlukan proses panjang yang membutuhkan konsistensi dan komitmen tinggi dalam mengawalnya. Sebuah program/gerakan  yang membutuhkan banyak perjuangan untuk sebuah tujuan yang diingikan bersama.  
Kita tidak bisa terus mengeluh dengan berbagai permasalahan yang muncul. Kita tidak bisa hanya mencukupkan diri pada program-program yang sudah ada.   Perlu ada upaya-upaya dari unsur intinsik yang perlu kita bangun agar gerakan literasi ini bisa terus menyala.

Meneladankan, membersamai dan mengapresiasi
Tak banyak program literasi yang kami jalankan di sekolah kami (SDI Insan Kamil Tuban). Namun ada semangat yang kami bawa dalam mendukung program GLS yang sudah kami susun, yaitu semangat meneladankan, membersamai dan mengapresiasi. Dengan semangat inilah yang menjadi jalan kami mengantarkan siswa-siswi kami mencintai kegiatan literasi. Sebuah semangat yang kami namakan ‘tiga jurus cinta literasi sekolah atas bukit’.

  • Meneladankan
“Inti dari pendidikan adalah keteladanan” begitu kata beberapa pakar pendidikan karakter. Kata ini berlaku juga dalam pengembangan GLS. Karena program ini dilaksanakan di sekolah maka role model dari gerakan ini adalah para gurunya. Kita tidak bisa semena-mena memaksa siswa mencintai budaya membaca dan menulis jika para gurunya belum bisa memberi contoh nyata dalam hal tersebut.
Kami begitu meyakini kekuatan keteladanan. Seorang anak/siswa akan mudah melakukan, mudah digerakkkan dengan contoh yang kontekstual yang ada dihadapan mereka, bukandengan teori tanpa bukti nyata.      

Mengajak siswa ikut serta siaran dalam bahasan sastra anak di Radio   


Maka, kami disini berusaha memulai menempa diri untuk berliterasi dari yang kami(gurunya) bisa. Memberi contoh berliterasi yang seharusnya. Terus berkarya untuk memantaskan diri menjadi tauladan bagi siswa-siswa kami.
Buku karya guru

  • Membersamai
Gerakan literasi sekolah tidak semata-mata menjadikan siswa sebagai objek dan guru sebagai subjek. Guru bukan hanya sebagai pemandu ataupun sekedar fasilitator, tetapi juga bagaimana guru mampu membersamai siswanya berproses dalam berliterasi.
Banyak hal yang bisa dilakukan dalam membersamai siswa dalam berliterasi, contoh kecil bisa dimulai dari membersamai mereka dalam kegiatan membaca, ikut serta membuat karya saat meminta siswa berkarya, hingga berkolaborasi dan mendampingi mereka dalam menghasilkan karya.
Membersamai siswa belajar pada ahli (mbk Dian Kristiani seorang penulis bacaan anak)
   
Membersamai siswa menghasilkan karya
                                                 
  • Mengapresiasi
        Seperti halnya teori belajar behavioristik dengan hukum akibatnya (law of effect), bahwa stimulus respon akan menguat jika akibatnya menyenangkan dan akan melemah jika akibatnya tidak memuaskan.
Maka, kami percaya bahwa dengan  memberikan rangsangan baik berupa apesiasi, akan ada respons positif yang dapat mendorong semangat mereka untuk belajar, untuk beliterasi.   Dengan apresiasi ini kami berharap kesadaran dan kemampuan mereka berliterasi akan semakin menguat.

Menampilkan karya siswa di mading
        Cara mengapresiasi tidak harus dengan hadiah. Ada banyak cara yang biasa kami lakukan untuk mengapresiasi kegiatan berliterasi siswa kami. Beberapa contohnya ; membuat pameran buku hasil karya anak,  menampilkan hasil karya tulis mereka di mading, memberikan kepercayaan mereka mengelola majalah sekolah(dengan sedikit pendampingan), mengirimkan karya mereka ke media massa/ penerbit, mengikut sertakan mereka dalam ajang literasi, dsb.
 
Pameran buku karya siswa


          Dengan berbagai cara diatas banyak memberikan dampak(respon positif) anak tentang dunia literasi, yang pada akhirnya akan membuat mereka mencintai budaya literasi. Mereka akan benar-benar merasai, melakukan dan menikmati. 
  
          Akhirnya kami menyadari bahwa kesuksesan GLS dapat terwujud dengan berbagai upaya. Upaya yang memerlukan banyak perjuangan dan kesungguhan, yang tidak hanya dipenuhi dari unsur-unsur ekstrinsik namun juga dari unsure ekstrinsik yang berupa penguatan dari sisi subjek pelaku atau sasaran GLS itu sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Teras Puisi 2 (Tema Kemerdekaan)