Banyak
yang berpendapat bahwa menjalankan program literasi itu tak semudah membuatnya,
kenyataan yang tak seindah teori. Berbagai
keluhan yang disampaikan beberapa pihak sekolah -sebagai sasaran gerakan
literasi- dalam mempraktekan program yang dicanangkan pemerintah ini, cukup meramaikan
serba-serbi dunia pendidikan Indonesia.
Ratusan
juta dana telah digelontorkan untuk memberikan
pelatihan para guru untuk mendukung GLS(Gerakan Literasi Sekolah) ini. Ribuan
buku dicetak dan disebar dalam rangka
memutus rantai predikat negara dengan penduduk rendah minat baca. Namun masih
ada masalah di sana sini. Mulai masalah sarana prasarana, kurangnya bahan bacaan
siswa, kemampuan guru berliterasi yang tidak merata, dan segudang masalah
lainnya. Masalah-masalah yang sebenarnya lebih pada alasan-alasan yang justru
menghambat keberlangsungan program GLS. Masalah-masalah
yang sering dihadirkan (yang kadang) tanpa ada solusi yang dapat dipecahkan.
Masalah
di atas muncul berawal dari kesalahan memahami konsep atas tolak ukur
keberhasilan dan kesuksesan sebuah GLS. Kebanyakan masih berfikir bahwa
kesuksesan GLS itu dinilai dari kelengkapan, kebagusan dan hasil materi suatu
program, bukan pada substasi atau esensi GLS itu sendiri.
Perlu penyamaan paradigma, bahwa kesuksesan
GLS tidak tepat jika diukur dari bagus dan lengkapnya perpustakaan sekolahnya,
dari banyaknya program literasinya. Keberhasilan GLS juga tidak bisa hanya
dilihat dari banyak buku yang berhasil
diterbitkan siswa maupun gurunya, bukan
pula dari banyaknya piala yang diperoleh sekolah itu dalam bidang
literasi.
Namun,
kesuksesan GLS dapat dilihat dan
dirasakan dalam menciptakan kesadaran
siswa berliterasi, yang kemudian menjadi
budaya yang mengakar kuat sebagai identitas generasi bangsa. Literasi yang mengantarkan mereka menjadi para pembelajar
sejati. Literasi yang mematik mereka untuk berkarya dengan kesadaran (bukan
dengan paksaan apalagi iming-iming prestisius berupa penghargaan dan piala). Literasi
yang memberi dampak kebaikan yang mereka akan rasakan kebermanfaatan dalam kehidupannya.
Keberhasilan
dan kesuksesan literasi memang bukan sebuah hal instan yang langsung kita bisa
lihat hasilnya, namun diperlukan proses panjang yang membutuhkan konsistensi
dan komitmen tinggi dalam mengawalnya. Sebuah program/gerakan yang membutuhkan banyak perjuangan untuk
sebuah tujuan yang diingikan bersama.
Kita
tidak bisa terus mengeluh dengan berbagai permasalahan yang muncul. Kita tidak
bisa hanya mencukupkan diri pada program-program yang sudah ada. Perlu ada upaya-upaya dari unsur intinsik yang
perlu kita bangun agar gerakan literasi ini bisa terus menyala.
Meneladankan, membersamai dan
mengapresiasi
Tak
banyak program literasi yang kami jalankan di sekolah kami (SDI Insan Kamil
Tuban). Namun ada semangat yang kami bawa dalam mendukung program GLS yang
sudah kami susun, yaitu semangat meneladankan, membersamai dan mengapresiasi.
Dengan semangat inilah yang menjadi jalan kami mengantarkan siswa-siswi kami
mencintai kegiatan literasi. Sebuah semangat yang kami namakan ‘tiga jurus
cinta literasi sekolah atas bukit’.
- Meneladankan
“Inti
dari pendidikan adalah keteladanan” begitu kata beberapa pakar pendidikan
karakter. Kata ini berlaku juga dalam pengembangan GLS. Karena program ini
dilaksanakan di sekolah maka role model
dari gerakan ini adalah para gurunya. Kita tidak bisa semena-mena memaksa siswa
mencintai budaya membaca dan menulis jika para gurunya belum bisa memberi
contoh nyata dalam hal tersebut.
Kami
begitu meyakini kekuatan keteladanan. Seorang anak/siswa akan mudah melakukan,
mudah digerakkkan dengan contoh yang kontekstual yang ada dihadapan mereka,
bukandengan teori tanpa bukti nyata. Mengajak siswa ikut serta siaran dalam bahasan sastra anak di Radio |
Buku
karya guru
|
- Membersamai
Gerakan
literasi sekolah tidak semata-mata menjadikan siswa sebagai objek dan guru
sebagai subjek. Guru bukan hanya sebagai pemandu ataupun sekedar fasilitator,
tetapi juga bagaimana guru mampu membersamai siswanya berproses dalam
berliterasi.
Banyak
hal yang bisa dilakukan dalam membersamai siswa dalam berliterasi, contoh kecil
bisa dimulai dari membersamai mereka dalam kegiatan membaca, ikut serta membuat
karya saat meminta siswa berkarya, hingga berkolaborasi dan mendampingi mereka
dalam menghasilkan karya.
Membersamai siswa belajar pada ahli (mbk Dian Kristiani
seorang penulis bacaan anak)
|
Membersamai
siswa menghasilkan karya
|
- Mengapresiasi
Seperti
halnya teori belajar behavioristik dengan hukum akibatnya (law of effect), bahwa stimulus respon akan menguat jika akibatnya
menyenangkan dan akan melemah jika akibatnya tidak memuaskan.
Maka,
kami percaya bahwa dengan memberikan
rangsangan baik berupa apesiasi, akan ada respons positif yang dapat mendorong
semangat mereka untuk belajar, untuk beliterasi. Dengan
apresiasi ini kami berharap kesadaran dan kemampuan mereka berliterasi akan
semakin menguat.
Menampilkan
karya siswa di mading
|
Cara
mengapresiasi tidak harus dengan hadiah. Ada banyak cara yang biasa kami
lakukan untuk mengapresiasi kegiatan berliterasi siswa kami. Beberapa contohnya
; membuat pameran buku hasil karya anak, menampilkan hasil karya tulis mereka di mading,
memberikan kepercayaan mereka mengelola majalah sekolah(dengan sedikit
pendampingan), mengirimkan karya mereka ke media massa/ penerbit, mengikut
sertakan mereka dalam ajang literasi, dsb.
Pameran buku
karya siswa
|
Dengan
berbagai cara diatas banyak memberikan dampak(respon positif) anak tentang
dunia literasi, yang pada akhirnya akan membuat mereka mencintai budaya
literasi. Mereka akan benar-benar merasai, melakukan dan menikmati.
Akhirnya
kami menyadari bahwa kesuksesan GLS dapat terwujud dengan berbagai upaya. Upaya
yang memerlukan banyak perjuangan dan kesungguhan, yang tidak hanya dipenuhi
dari unsur-unsur ekstrinsik namun juga dari unsure ekstrinsik yang berupa
penguatan dari sisi subjek pelaku atau sasaran GLS itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar