Sabtu, 19 Januari 2019

Harga Sebuah Proses




Tak ada yang lebih mengasyikan bagi para kaum ibu selain membicarakan anak-anak mereka. Entah tentang keberhasilan maupun masalah diseputar anak-anak mereka. Tentang sekolah yang bagus, tentang fasion anak, tentang pengalaman keseharian, tentang cara menghadapi prilaku anak sampai les ini itu, yang diharapkan bisa membuat anak berkembang sesuai harapan dan sebagainya. Yang kalau ditulis disini, saya yakin nggak akan ada habisnya.

Seperti siang itu, seorang teman yang notabene juga seorang bunda bercerita setengah bertanya lewat chat wa "Anak saya cenderung tidak sabaran mbk, maunya instan saja. Misal minta apa-apa kayak harus langsung ada depan mata mintanya cepet, Kenapa ya mbk?dan gimana biar nggak kayak gitu? "

Saya hanya menanggapinya dengan membalas dengan kata "sama" dan saya tambahi emoticon senyuman. Saya mengakui, saya pun terkadang merasakan hal yang sama seperti yang bunda tadi utarakan. Saya masih mengingat betul bagaimana Harits minta segera sembuh dari demamnya padahal baru 2 menitan obat penurun panas saya minumkan, bertapa tidak sabarnya dia saat menagih janji pada saya untuk membuatkan makanan atau mainan yang ia inginkan dan masih banyak contoh ketidak sabaran lainnya. 

Saya pun berusaha merefleksi diri, bercermin dengan apa yang sudah saya lakukan selama ini, karena saya yakin masalah 'tidak sabaran' itu tidak datang dengan sendirinya. Dan saya akhirnya dengan sadar mengakui betapa diri ini juga tidak kalah kurang sabar dengan anak saya. Alih-alih takut terlambat, kata"cepat-cepat nanti telat" itu senantiasa mengudara hampir tiap pagi, "Cepat bangun.... Cepat mandi... Cepat pakai baju,....Cepat sarapan..... Cepat.... Cepat... " dan rentetan intruksi yang bernada tidak sabaran. Begitu juga saat menemaninya belajar, ada rasa tak sabar ketika mendapati target belajar yang kita tentukan ternyata jauh dari kenyataan. Atau ketika Badan sudah lelah beraktivitas seharian, sedangkan si anak tidak mau diajak berkompromi dengan keadaan, maka yang terjadi lagi-lagi ketidak sabaran. Adakah bunda mengalami hal yang sama? 

Saya yakin , selain pengalaman seperti diatas, ada banyak kisah para bunda dalam menghadapi ujian bernama 'kesabaran' ini. Itulah mengapa, dalam bahasan akhlak islam, term sabar memiliki grade tertinggi dalam menentukan kualitas keimanan seseorang selain nilai syukur. 

Nah, mengapa anak-anak wabil khusus kita sering tidak sabaran?

Tak hanya soal ketimpangan antara harapan dan kenyataan saja rupanya. Tapi juga soal iklim zaman yang serba instan yang mau tidak mau mempengaruhi pola pikir kita. Kehidupan yang serba modern menuntut kita serba cepat. Kemajuan teknologi rupanya mendorong hidup serba praktis dan instan. Jika orang dulu untuk makan nasi saja harus cari kayu bakar, berpanas ria didepan tunku, belum asap dapur yang bikin mata perih, maka zaman sekarang orang mau makan tinggal pencet magic com, masih terlalu repot, pencet handphone hubungi go food makanan yg diinginkan sudah tersaji di meja. Begitu juga, mau nyuci tinggal pencet, mau belanja tinggal pencet, mau dingin tinggal pencet dan sebagainya.

Dengan segala kemudahan tersebut membuat otak kita terframe untuk berfikir instan. Dengan frame pola pikir tersebut membuat nilai sebuah proses seakan tak berarti lagi. Semua seakan bisa diselesaikan dengan mudah, diselesaikan dengan cepat dan praktis tanpa lama dan ribet. Dan uang menjadi alat yang berperan penting dalam zaman yang serba instan ini. Maka tak heran jika kata "halah tinggal beli, tinggal pesan! " menjadi kata sakti untuk mendapatkan sesuatu.

Banyak contoh yang menunjukan betapa lingkungan kita sudah sangat terinfeksi pola pikir serba instan ini.seorang anak mendapat tugas membuat prakarya dari sekolah. Alih-alih menyemangati anak untuk membuat atau paling tidak membantu. Tapi orang tua ini justru memesankan pada agen prakarya atau bahkan mengkoordir wali murid lain untuk memesan. Atau seorang guru karena takut dianggap tidak bisa mengajar dan dengan harapan dapat pujian, diberikanlah soal yang akan diujikan pada siswanya. Dan masih banyak sekali contoh lain yang nyatanya mereka tidak pernah memiikirkan akibat jangka panjang yang tak hanya berlaku didunia tapi juga akibat yang terkait surga neraka. 

Lawan dari instan adalah proses. Proses..Proses..Proses.. Satu kata yang langka untuk saat ini. Banyak orang yang mendengarnya seakan antipati dengan sebuah proses. Namun coba sesekali kita menengok sebuah argumen yang bisa saya sampaikan di dunia yang dipenuhi jalan2 yang instan ini. 

Proses adalah suatu sistem yang harus terlewati sebelum kita mendapatkan hasil. Tapi kebanyakan orang menganggap hal ini tidak penting, dan bisa diakali. Misalkan banyak kasus tentang Ijazah palsu, membayar untuk suatu pekerjaan, membayar untuk sebuah gelar. Bahkan sampai kegiatan mencontek pun bisa dikategorikan dalam unsur “penghinaan terhadap proses”. Mungkin kebanyakan orang yang membaca tulisan ini akan merasa geram dan berfikir “ah munafik banget sih lo!”, tapi tunggu, mari kita berdiskusi! 

Sebagian hidup ini adalah suatu proses, dan proses itu tidak boleh kita langkahi dengan kita membuat jalan terpintas untuk melewatinya. Lebih ditekankan lagi pada contoh-contoh diatas, kan mereka membeli ijazah untuk mengelabui proses, membeli gelar, seakan-akan mereka hebat, tapi sesungguhnya tidak ada proses yang mereka jalani. Pernahkah terbesit di pikiran ini, bahwa memang tidak pernah ada jalan pintas untuk mencapai sebuah pencapaian. Mungkin kita, bisa mengerti hal ini dengan menjadi seorang petani. Seorang petani, menabur, merawat apa yang ditaburnya. Sehingga menjadi sesuatu. Tidak ada petani yang berfikir, sekarang mereka tabur, besok hasilnya melimpah. Mungkin dengan analogi tersebut kita bisa berfikir, betapa besarnya harga sebuah proses. 

Orang yang besar adalah orang yang bisa menghargai proses tersebut, bukannya melangkahi proses. Mungkin sebagian malah berfikir, kita bisa berbuat curang, dan hanya orang-orang munafik dan sok suci yang menuntut kebenaran, mungkin dalam hal mencontek, menipu, dan kegiatan lainnya.

Dunia ini seakan terbalik, sesuatu yang tidak benar seolah dianggap benar, dan sesuatu yang memang benar, dianggap bullshit, munafik, dan lain-lain.

Sekali lagi, No Offense bagi yang pernah melakukan kecurangan atau kesalahan. Saya pun pernah melakukan kesalahan, tapi berjanjilah, kita meraih semua pencapaian yang benar-benar ingin kita capai dengan menghargai proses yang bakal kita lewati.

Maka saatnya kita bersama-sama berproses dengan penuh kesabaran. Kesabaran yang akan berbuah kebaikan. Mari meyakini bahwa jalan instan itu memang melenakan, tapi tak akan mampu memberi makna apapun dihadapan manusia juga dihadapanyaNya.

Harga sebuah proses memang mahal, berat dan berliku bagi yang tidak mau, tapi bagi yang mau, siap-siap dapat keberkahan dari sebuah akhlak bernama kesabaran. Allah itu membersamai orang yang sabar bukan orang yang suka dengan ketergesaan atau jalan instan!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Teras Puisi 2 (Tema Kemerdekaan)