Tak
ada yang lebih mengasyikan bagi para kaum ibu selain membicarakan anak-anak
mereka. Entah tentang keberhasilan maupun masalah diseputar anak-anak mereka.
Tentang sekolah yang bagus, tentang fasion anak, tentang pengalaman keseharian,
tentang cara menghadapi prilaku anak sampai les ini itu, yang diharapkan bisa
membuat anak berkembang sesuai harapan dan sebagainya. Yang kalau ditulis
disini, saya yakin nggak akan ada habisnya.
Seperti
siang itu, seorang teman yang notabene juga seorang bunda bercerita setengah
bertanya lewat chat wa "Anak saya cenderung tidak sabaran mbk, maunya
instan saja. Misal minta apa-apa kayak harus langsung ada depan mata mintanya
cepet, Kenapa ya mbk?dan gimana biar nggak kayak gitu? "
Saya
hanya menanggapinya dengan membalas dengan kata "sama" dan saya
tambahi emoticon senyuman. Saya mengakui, saya pun terkadang merasakan hal yang
sama seperti yang bunda tadi utarakan. Saya masih mengingat betul bagaimana
Harits minta segera sembuh dari demamnya padahal baru 2 menitan obat penurun
panas saya minumkan, bertapa tidak sabarnya dia saat menagih janji pada saya
untuk membuatkan makanan atau mainan yang ia inginkan dan masih banyak contoh ketidak sabaran
lainnya.
Saya
pun berusaha merefleksi diri, bercermin dengan apa yang sudah saya lakukan
selama ini, karena saya yakin masalah 'tidak sabaran' itu tidak datang dengan
sendirinya. Dan saya akhirnya dengan sadar mengakui betapa diri ini juga tidak kalah
kurang sabar dengan anak saya. Alih-alih takut terlambat, kata"cepat-cepat
nanti telat" itu senantiasa mengudara hampir tiap pagi, "Cepat
bangun.... Cepat mandi... Cepat pakai baju,....Cepat sarapan..... Cepat....
Cepat... " dan rentetan intruksi yang bernada tidak sabaran. Begitu juga
saat menemaninya belajar, ada rasa tak sabar ketika mendapati target belajar
yang kita tentukan ternyata jauh dari kenyataan. Atau ketika Badan sudah lelah
beraktivitas seharian, sedangkan si anak tidak mau diajak berkompromi dengan
keadaan, maka yang terjadi lagi-lagi ketidak sabaran. Adakah bunda mengalami
hal yang sama?
Saya
yakin , selain pengalaman seperti diatas, ada banyak kisah para bunda dalam
menghadapi ujian bernama 'kesabaran' ini. Itulah mengapa, dalam bahasan akhlak
islam, term sabar memiliki grade tertinggi dalam menentukan kualitas keimanan
seseorang selain nilai syukur.
Nah,
mengapa anak-anak wabil khusus kita sering tidak sabaran?
Tak
hanya soal ketimpangan antara harapan dan kenyataan saja rupanya. Tapi juga
soal iklim zaman yang serba instan yang mau tidak mau mempengaruhi pola pikir
kita. Kehidupan yang serba modern menuntut kita serba cepat. Kemajuan teknologi
rupanya mendorong hidup serba praktis dan instan. Jika orang dulu untuk makan
nasi saja harus cari kayu bakar, berpanas ria didepan tunku, belum asap dapur
yang bikin mata perih, maka zaman sekarang orang mau makan tinggal pencet magic
com, masih terlalu repot, pencet handphone hubungi go food makanan yg
diinginkan sudah tersaji di meja. Begitu juga, mau nyuci tinggal pencet, mau
belanja tinggal pencet, mau dingin tinggal pencet dan sebagainya.
Dengan
segala kemudahan tersebut membuat otak kita terframe untuk berfikir instan.
Dengan frame pola pikir tersebut membuat nilai sebuah proses seakan tak berarti
lagi. Semua seakan bisa diselesaikan dengan mudah, diselesaikan dengan cepat
dan praktis tanpa lama dan ribet. Dan uang menjadi alat yang berperan penting
dalam zaman yang serba instan ini. Maka tak heran jika kata "halah tinggal
beli, tinggal pesan! " menjadi kata sakti untuk mendapatkan sesuatu.
Banyak
contoh yang menunjukan betapa lingkungan kita sudah sangat terinfeksi pola
pikir serba instan ini.seorang anak mendapat tugas membuat prakarya dari
sekolah. Alih-alih menyemangati anak untuk membuat atau paling tidak membantu.
Tapi orang tua ini justru memesankan pada agen prakarya atau bahkan mengkoordir
wali murid lain untuk memesan. Atau seorang guru karena takut dianggap tidak
bisa mengajar dan dengan harapan dapat pujian, diberikanlah soal yang akan
diujikan pada siswanya. Dan masih banyak sekali contoh lain yang nyatanya
mereka tidak pernah memiikirkan akibat jangka panjang yang tak hanya berlaku
didunia tapi juga akibat yang terkait surga neraka.
Lawan
dari instan adalah proses. Proses..Proses..Proses.. Satu kata yang langka untuk
saat ini. Banyak orang yang mendengarnya seakan antipati dengan sebuah proses.
Namun coba sesekali kita menengok sebuah argumen yang bisa saya sampaikan di
dunia yang dipenuhi jalan2 yang instan ini.
Proses
adalah suatu sistem yang harus terlewati sebelum kita mendapatkan hasil. Tapi
kebanyakan orang menganggap hal ini tidak penting, dan bisa diakali. Misalkan
banyak kasus tentang Ijazah palsu, membayar untuk suatu pekerjaan, membayar
untuk sebuah gelar. Bahkan sampai kegiatan mencontek pun bisa dikategorikan
dalam unsur “penghinaan terhadap proses”. Mungkin kebanyakan orang yang membaca
tulisan ini akan merasa geram dan berfikir “ah munafik banget sih lo!”, tapi
tunggu, mari kita berdiskusi!
Sebagian
hidup ini adalah suatu proses, dan proses itu tidak boleh kita langkahi dengan
kita membuat jalan terpintas untuk melewatinya. Lebih ditekankan lagi pada
contoh-contoh diatas, kan mereka membeli ijazah untuk mengelabui proses,
membeli gelar, seakan-akan mereka hebat, tapi sesungguhnya tidak ada proses
yang mereka jalani. Pernahkah terbesit di pikiran ini, bahwa memang tidak
pernah ada jalan pintas untuk mencapai sebuah pencapaian. Mungkin kita, bisa
mengerti hal ini dengan menjadi seorang petani. Seorang petani, menabur,
merawat apa yang ditaburnya. Sehingga menjadi sesuatu. Tidak ada petani yang
berfikir, sekarang mereka tabur, besok hasilnya melimpah. Mungkin dengan
analogi tersebut kita bisa berfikir, betapa besarnya harga sebuah proses.
Orang
yang besar adalah orang yang bisa menghargai proses tersebut, bukannya
melangkahi proses. Mungkin sebagian malah berfikir, kita bisa berbuat curang,
dan hanya orang-orang munafik dan sok suci yang menuntut kebenaran, mungkin
dalam hal mencontek, menipu, dan kegiatan lainnya.
Dunia
ini seakan terbalik, sesuatu yang tidak benar seolah dianggap benar, dan
sesuatu yang memang benar, dianggap bullshit, munafik, dan lain-lain.
Sekali
lagi, No Offense bagi yang pernah melakukan kecurangan atau kesalahan. Saya pun
pernah melakukan kesalahan, tapi berjanjilah, kita meraih semua pencapaian yang
benar-benar ingin kita capai dengan menghargai proses yang bakal kita lewati.
Maka
saatnya kita bersama-sama berproses dengan penuh kesabaran. Kesabaran yang akan
berbuah kebaikan. Mari meyakini bahwa jalan instan itu memang melenakan, tapi
tak akan mampu memberi makna apapun dihadapan manusia juga dihadapanyaNya.
Harga
sebuah proses memang mahal, berat dan berliku bagi yang tidak mau, tapi bagi
yang mau, siap-siap dapat keberkahan dari sebuah akhlak bernama kesabaran.
Allah itu membersamai orang yang sabar bukan orang yang suka dengan ketergesaan
atau jalan instan!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar