Tanggal
22 desember selalu diperingati hari Ibu,berbagai acara di gelar. Ribuan ucapan
bertebaran di media social untuk menunjukan perhatian dan suka cita terhadap
sosok ibu, yang saya yakin sangat berarti bagi semua orang yang menyandang
gelar anak. Sosok yang dalam Islam
memiliki derajat yang lebih tinggi tiga kali dari seorang ayah. Sosok yang dinisbahkan
bahwa surga ada ditelapak kakinya.
Namun
ada beberapa hal yang kadang menggelisahkan. Saya khawatir bahwa peringatan ini
hanya menjadi semacam ceremony yang miskin makna. Sebuah peringatan yang harusnya menjadi pelajaran bagi kita atas peran
seorang ibu. Bukan peringatan yang hanya dirayakan dan
mengagungkan nama ibu dalam sehari, tapi esensi kedepannya jutru jauh dari itu.
Maka,
ada banyak nilai yang harusnya kita petik dari momen hari ibu ini. Sebagai guru
kita harus belajar mengambil pelajaran dari sosok guru pertama dan utama ini
yaitu IBU.
Dalam
khasanah pendiddikan Islam, sosok ibu dikenal sebagai sekolah pertama dan utama
bagi anak-anaknya. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, sehingga para guru
sebaiknya perlu merenungkan mengapa sosok ibu pantas disebut sekolah/guru
pertama dan utama.
Setidaknya
ada beberapa hal yang membuat kita para guru harus belajar pada sosok ibu. Pertama, sosok ibu adalah sosok yang
terkenal dengan ketulusannya. Ketulusan dalam mendidik adalah hal penting di
lakukan oleh guru. Ketulusan adalah energy yang membuat seorang guru mau dengan
rela melakukan apapun untuk kemajuan anaknya. Ketulusan yang akan menghapus
kelelahan dan kekesalan seorang guru ketika merasa ‘gagal’ mendidik muridnya.
Ketulusan inilah yang membuat guru terkenal dengan sebutan pahlawan tanpa tanda
jasa. Ketulusan ini berkaitan dengan hati dan kebahagian. Kebahagian yang
terpancar kala bisa mendidik murid dengan baik. Tetap bahagia mendidik meski
kadang hasil belum sesuai harapan. Tetap bahagia mendidik meski hanya seberapa
bahkan tak ada bayaran.
Kedua, seorang
guru harus belajar dari sosok ibu tentang kasih sayang. Kasih sayang menjadi
landasan seorang ibu merawat, mendidik, menasehati, dan membimbing serta
mengarahkan. Kasih sayang ibu tidak
hanya dilihat dari tindakannya, tapi juga dari tatapan matanya dan gaya
bicaranya. Di kelas, tatapan seorang guru adalah tatapan yang penuh kasih
sayang bukan tatapan yang penuh penekanan apalagi kebencian. Ucapan seorang
guru adalah ucapan kasih sayang, bukan ucapan penuh cacian apalagi penghinaan.
Ketiga, para
guru harusnya belajar pada sosok ibu tentang kesabaran. Kesabaran seorang
ibulah yang mampu membuat seorang anak belajar dari proses yang ada. Kesabaran
seorang ibu tak akan membuat anak merasa terpaksa menguasai sesuatu. Maka,
kesabaranlah yang membuat seorang pendidik tak berhenti memotivasi muridnya
untuk terus berusaha. Kesabaran juga yang akan mengajarkan pendidik untuk
menikmati setiap proses pendidikan, bukan jutru berorientasi pada hasil semata
dengan cara instan.
Apa
jadinya jka seorang ibu tidak pernah bersabar mengajarkan anaknya berjalan?
Alih-alih mengajarkan berjalan dengan proses jatuh-bangun, bisa-bisa seorang
pendidik akan memberikan cara-cara instan yang bahkan bisa jatuh dalam
kecurangan karena tidak sabarnya mengikuti proses jatuh bangun yang harus
dilewati muridnya.
Keempat,
yang perlu kita belajar dari sosok ibu adalah tentang kekuatan doa ibu. Ridho
orang tua adalah rindonya Allah begitu kata sebuah hadits. Maka, doa seorang
ibu adalah doa yang mampu menggetarkan pintu langit. Seorang ibu tak pernah
putus mendoakan kebaikan dan kesuksesan bagi anaknya. Sehingga, kita sebagai
pendidik, layak kiranya kita mencontohnya. Mendoakan murid-murid kita, untuk
kebaikannya tanpa pilih kasih. Balaslah rasa ‘kesal dan marah’ kita dengan doa
yang kita berikan untuk mereka.
Marilah
kita belajar pada sosok ibunda seorang Imam Besar Masjidil Haram, Syaikh
Abdurrahman As-Sudais. As-Sudais kecil dikenal sebagai sosok yang kerap membuat
kesal orang tua, terutama ibundanya. Di kisahkan, pada suatu hari As-Sudais
kecil bermain pasir dan di rumahnya kedatangan seorang tamu yang merupakan
kawan orang tuanya. Saat Ibunda As-Sudais menyiapkan hidangan untuk tamunya dan
kemudian menyajikanya, masuklah sudais
kecil kedalam rumah dan menaburkan pasir ke dalam hidangan yang sudah disiapkan
ibunya. Lantas apakah yang dilakukan ibunya? Meski kaget dan penuh rasa marah,
ibunda As-Sudais malah menganti kemarahannya dengan doa “Pergilah kau nak,
semoga Allah menjadikanmu Imam Masjidil Haram” sebuah tindakan mulia yang dilakukan
atas dasar ketulusan, kasih sayang dan kesabaran.
Banyak
hal lain yang sebenarnya kita pelajari dari sosok ibu, namun empat hal di atas sudahlah cukup untuk kita belajar, pun belum
tentu kita dapat lakukan sebaik seorang ibu melakukannya. Marilah kita menjadi
guru yang membuat nyaman murid kita sebagaimana kita nyaman bersama ibu kita.
Marilah kita menjadi seorang guru yang terus belajar dari siapapun bahkan dari
sosok ibu yang dekat dengan kita, ibu kita sendiri. Selamat hari ibu.
*Sebuah renungan saya sebagai guru di Hari ibu 22 Desember 2018
*Sebuah renungan saya sebagai guru di Hari ibu 22 Desember 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar