Mengingat
kembali kalam nasehat guru saya KH. Abdullah Faqih. Nasehat yang senantiasa
terpatri dalam ingatan untuk kemudian menjadi alarm kala niat dan semangat mulai kendor. Nasehat yang mengingatkan akan tujuan saya mengabdi,
mengingatkanakan nasib peradaban Islam kedepan, akan tugas dakwah, akan investasi
jariyah pada generasi yang akan datang.
“Jadilah
guru yang tidak hanya jadi syaikhutta’lim
tapi harus juga jadi syaikhutarbiyah
dan syaikhuttarqiyah, maka kamu akan
jadi istimewa” begitu nasehat beliau. Terlalu berat rasanya untuk bisa menjadi guru yang seideal dan sesempurna itu. Namun
di situlah letak keistimewaan seorang guru di hadapan Allah.
Maka ketika
saya pertama kali menginjakkan kaki di Insan kamil ini, saya mematrikan nasehat
itu untuk bisa menjadikan kompas arah melangkah dan niat saya dalam mengabdi di
sini. Mungkin terasa muluk, namun saya meyakini ini sebuah niatan baik, yang
bersitan saja sudah bernilai pahala di sisi Allah. Insya Allah.
Saya ingin
berproses seperti nama sekolah tempat saya mengabdi. Nama” Insan kamil” yang berarti manusia yang sempurna. Mungkin bagi
sebagian orang nama itu terlalu membumbung tinggi. Nama yang hanya tersematkan
pada sosok Rasulullah. Namun niatan dan harapan memenuhi gambaran ideal junjungan
yang mulia Rasulullah Muhammad sang teladan kehidupan, akan menjadi landasan gerak lembaga ini untuk
senantiasa berproses ke arah kesempurnaan.
Sebelum saya
‘menemukan’ Insan Kami, saya semata
hanya guru biasa yang tugasnya hanya mengajar, mentransfer ilmu. Guru yang
tugasnya hanya di sekolah, selesai mengajar, materi pelajaran habis ya sudah. Hanya fungsi syaikhutta’lim saja yang terjalankan. Meski begitu, rasa-rasanya saya pun masih malu untuk
menyebut diri syaikhutta’lim, karena
gambaran syaikhutta’lim bukanlah
sosok guru yang dengan segala kemampuan
ilmu yang dimiliki menjadikan ia sombong, menjadikan diri enggan untuk
terus belajar. Sosok syaikhutta’lim tidak lain adalah
gambaran sebuah teko -seperti yang saya ibaratkan dalam antologi “teko sang
guru”-. Guru adalah ibarat teko yang tak hanya mengisi tapi juga senantiasa diisi. Seperti halnya sebuah kalam dari Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki "Kita selamanya
adalah santri" . Menjadi syaikhutta’lim
harus siap mendidik juga diddik. Maka di Insan Kamil inilah, saya merasakan kembali semangat untuk menjadi
syaikhutta’lim. Mengajar apa saja dan
belajar tentang apa saja. Banyak ilmu dan pengalaman hidup yang saya
dapatkan. Di sini saya bisa merasakan
belajar di universitas sebenar-benarnya. Sangat istimewa bukan !?
Dan ketika
mengingat fungsi guru yang kedua yaitu syaikhutarbiyah,
maka otomatis ada status ‘dai’ yang tersemat di pundak saya. Karena nyatanya kita
semua adalah dai di bumi Allah ini. Dan saya pun berbicara pada diri sendiri
bahwa tugas utama saya bukan sekedar mengajar mereka baca-tulis-hitung, membuat
mereka pandai secara kognitif. Bukan! Tapi ada tugas yang lebih penting dari
semua itu, yaitu tugas mendidik mereka menjadi orang yang baik, yang berakhlak
mulia, membelajari mereka cara ibadah yang benar dan tentu mengarahkan mereka untuk
taat Allah dan Rasulnya. Karena menjadi guru sejatinya sedang berdakwah,sedang mempersiapkan
generasi yang akan mengurusi umat ini tahun-tahun mendatang. Dan ini pekerjaan
sangat serius. Pekerjaan yang memerlukan kesungguhan saya berusaha, niat yang
lurus, tekad yang kuat serta kesediaan untuk belajar tanpa henti. Maka tak cukup
rasanya hanya berbekal ilmu yang sedikit ilmu ini, perlu energy lebih untuk
menempa diri ini menjadi lebih baik lagi setiap harinya.
Keistiwewaan
ketiga yang sangat ingin saya gapai adalah saya bisa menjadi syaikhuttarqiya bagi murid-murid
saya. Saya ingin seperti guru-guru pendahulu saya, yang senantiasa meningkatkan derajat muridnya
dengan doa-doa malamnya dan dengan amalan-amalan riyadlohnya. Para guru yang
dengan ketulusannya mau ‘tirakat’, puasa hingga doa
khusus untuk para muridnya. Maka tak heran jika keberkahan ilmu para guru ini
dapat dirasakan orang-orang di sekitarnya. (semoga sedikit ilmu yang saya punya
ini juga bagian dari keberkahan ilmu-ilmu beliau-beliau. Aamiin). Dan saya ingin
seperti mereka!
Satu kalam
lagi yang menjadi pengingat untuk
senantiasa memperbaiki kualitas diri,
sebuah pesan dari Gus Rouf (ponpes Sarang), yang masih tersimpan rapi
dalam buku catatan saya. “Sisihkan waktu
malam harimu untuk mendoakan murid-muridmu, karena mereka menanti doa-doamu”.
“Mendidik anak tidak hanya pendidikan fisik, materi dan sebagainya, tapi
mendidiklah mereka dengan hati, dengan sentuhan spiritual”. Saya memiliki
asa untuk bisa sekaliber itu, meski terkadang terbesit rasa malu dengan keadaan
iman yang masih naik turun, yang masih sangsi dengan makbulnya doa dari mulut
yang masih sering berkata tak berguna, yang masih sering lupa untuk tidak
bermaksiat padaNya. Tapi lagi-lagi harapan dan niatan baik menjadi penyemangat
untuk sampai pada batas itu.
Maka di sini, di insan kamil ini saya ingin
berproses. Saya ingin menjadi istimewa, seistimewa seorang guru.
Keinginan yang selalu menjadi doa saya.
Besar harapan saya pada lembaga ini untuk menjadi lembaga yang tidak
hanya berfungsi sebagai sekolah bagi para
siswanya, tidak juga sebagai kantor
tempat kerja bagi para gurunya. Namun disini, ada harapan bahwa kelak akan
tumbuh tunas-tunas peradaban mulia dari tangan guru-guru yang istimewa, istimewa karena keiklasannya dan keistiqomahannya,
istimewa karena akhlaknya, istimewa karena karyanya. Maka jika semua itu bisa
terlampaui, kebahagaian mana lagi yang akan saya cari?!
Subhanallah,,, Benar benar tulisan inspiratif dan sangat pas untuk muhasabah diri bagi manusia seperti sy yg masih bergelimang kurang dan sedang berproses menjadi guru sebenar guru. Ditunggu tulisan berikutnya us. 🙏
BalasHapusIni muhasabah untuk saya juga ibu....semoga bisa sama2 berproses.
HapusSemoga sy juga bisa terus menulis. Doakan istiqomah 😇