Selasa, 15 Januari 2019

Menjadi Istimewa (*Sebuah memoar 12 tahun pengabdian)





Mengingat kembali kalam nasehat guru saya KH. Abdullah Faqih. Nasehat yang senantiasa terpatri dalam ingatan untuk kemudian menjadi alarm kala niat dan semangat mulai kendor.  Nasehat yang mengingatkan akan tujuan saya mengabdi, mengingatkanakan nasib peradaban Islam kedepan, akan tugas dakwah, akan investasi jariyah pada generasi yang akan datang.

“Jadilah guru yang tidak hanya jadi syaikhutta’lim tapi harus juga jadi syaikhutarbiyah dan syaikhuttarqiyah, maka kamu akan jadi istimewa” begitu nasehat beliau. Terlalu berat  rasanya untuk bisa menjadi  guru yang seideal dan sesempurna itu. Namun di situlah letak keistimewaan seorang guru di hadapan Allah.

Maka ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Insan kamil ini, saya mematrikan nasehat itu untuk bisa menjadikan kompas arah melangkah dan niat saya dalam mengabdi di sini. Mungkin terasa muluk, namun saya meyakini ini sebuah niatan baik, yang bersitan saja sudah bernilai pahala di sisi Allah. Insya Allah.

Saya ingin berproses seperti nama sekolah tempat saya mengabdi. Nama” Insan kamil”  yang berarti manusia yang sempurna. Mungkin bagi sebagian orang nama itu terlalu membumbung tinggi. Nama yang hanya tersematkan pada sosok Rasulullah. Namun niatan dan harapan memenuhi gambaran ideal junjungan yang mulia Rasulullah Muhammad sang teladan kehidupan, akan  menjadi landasan gerak lembaga ini untuk senantiasa berproses ke arah kesempurnaan.

Sebelum saya ‘menemukan’ Insan Kami,  saya semata hanya guru biasa yang tugasnya hanya mengajar, mentransfer ilmu. Guru yang tugasnya hanya di sekolah, selesai mengajar, materi pelajaran habis ya sudah.              Hanya fungsi syaikhutta’lim saja yang terjalankan. Meski begitu,  rasa-rasanya saya pun masih malu untuk menyebut diri syaikhutta’lim, karena gambaran syaikhutta’lim bukanlah sosok  guru yang dengan segala kemampuan ilmu yang dimiliki  menjadikan  ia sombong, menjadikan diri enggan untuk terus belajar. Sosok  syaikhutta’lim tidak lain adalah gambaran sebuah teko -seperti yang saya ibaratkan dalam antologi “teko sang guru”-. Guru adalah ibarat teko yang tak hanya mengisi tapi juga senantiasa diisi.  Seperti halnya sebuah kalam dari Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki "Kita selamanya adalah santri" . Menjadi syaikhutta’lim harus siap mendidik juga diddik. Maka di Insan Kamil inilah,  saya merasakan kembali semangat untuk menjadi syaikhutta’lim. Mengajar apa saja dan belajar tentang apa saja. Banyak ilmu dan pengalaman hidup yang saya dapatkan.  Di sini saya bisa merasakan belajar di universitas sebenar-benarnya. Sangat istimewa bukan !?

Dan ketika mengingat fungsi guru yang kedua yaitu syaikhutarbiyah, maka otomatis ada status ‘dai’ yang tersemat di pundak saya. Karena nyatanya kita semua adalah dai di bumi Allah ini. Dan saya pun berbicara pada diri sendiri bahwa tugas utama saya bukan sekedar mengajar mereka baca-tulis-hitung, membuat mereka pandai secara kognitif. Bukan! Tapi ada tugas yang lebih penting dari semua itu, yaitu tugas mendidik mereka menjadi orang yang baik, yang berakhlak mulia, membelajari mereka cara ibadah yang benar dan tentu mengarahkan mereka untuk taat Allah dan Rasulnya. Karena menjadi guru sejatinya sedang berdakwah,sedang mempersiapkan generasi yang akan mengurusi umat ini tahun-tahun mendatang. Dan ini pekerjaan sangat serius. Pekerjaan yang memerlukan kesungguhan saya berusaha, niat yang lurus, tekad yang kuat serta kesediaan untuk belajar tanpa henti. Maka tak cukup rasanya hanya berbekal ilmu yang sedikit ilmu ini, perlu energy lebih untuk menempa diri ini menjadi lebih baik lagi setiap harinya.

Keistiwewaan ketiga yang sangat ingin saya gapai adalah saya bisa menjadi syaikhuttarqiya bagi murid-murid saya. Saya ingin seperti guru-guru pendahulu saya, yang  senantiasa meningkatkan derajat muridnya dengan doa-doa malamnya dan dengan amalan-amalan riyadlohnya. Para guru yang dengan ketulusannya mau ‘tirakat’, puasa hingga doa khusus untuk para muridnya. Maka tak heran jika keberkahan ilmu para guru ini dapat dirasakan orang-orang di sekitarnya. (semoga sedikit ilmu yang saya punya ini juga bagian dari keberkahan ilmu-ilmu beliau-beliau. Aamiin). Dan saya ingin seperti mereka!

Satu kalam lagi yang  menjadi pengingat untuk senantiasa memperbaiki kualitas diri,  sebuah pesan dari Gus Rouf (ponpes Sarang), yang masih tersimpan rapi dalam buku catatan saya. “Sisihkan waktu malam harimu untuk mendoakan murid-muridmu, karena mereka menanti doa-doamu”. “Mendidik anak tidak hanya pendidikan fisik, materi dan sebagainya, tapi mendidiklah mereka dengan hati, dengan sentuhan spiritual”. Saya memiliki asa untuk bisa sekaliber itu, meski terkadang terbesit rasa malu dengan keadaan iman yang masih naik turun, yang masih sangsi dengan makbulnya doa dari mulut yang masih sering berkata tak berguna, yang masih sering lupa untuk tidak bermaksiat padaNya. Tapi lagi-lagi harapan dan niatan baik menjadi penyemangat untuk sampai pada batas itu.

Maka  di sini, di insan kamil ini saya ingin berproses. Saya ingin menjadi istimewa, seistimewa seorang guru. Keinginan yang selalu menjadi doa saya.  Besar harapan saya pada lembaga ini untuk menjadi lembaga yang tidak hanya berfungsi sebagai sekolah  bagi para siswanya, tidak juga sebagai  kantor tempat kerja bagi para gurunya. Namun disini, ada harapan bahwa kelak akan tumbuh tunas-tunas peradaban mulia dari tangan guru-guru yang istimewa,  istimewa karena keiklasannya  dan keistiqomahannya, istimewa karena akhlaknya, istimewa karena karyanya. Maka jika semua itu bisa terlampaui, kebahagaian mana lagi yang akan saya cari?!




2 komentar:

  1. Subhanallah,,, Benar benar tulisan inspiratif dan sangat pas untuk muhasabah diri bagi manusia seperti sy yg masih bergelimang kurang dan sedang berproses menjadi guru sebenar guru. Ditunggu tulisan berikutnya us. 🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini muhasabah untuk saya juga ibu....semoga bisa sama2 berproses.
      Semoga sy juga bisa terus menulis. Doakan istiqomah 😇

      Hapus

Teras Puisi 2 (Tema Kemerdekaan)