Senin, 21 Januari 2019

HP BERBUAH JERUK




Senja  memerah dan semakin pekat. Pertanda malam hendak datang.   Sisa cahaya matahari  menerobos celah dedaunan lontar. Mbah Saekun pulang dengan gontai memanggul beberapa bethek-nya.
Kali ini sengaja ia tak membawa sepeda jengkinya, karena ia tak perlu membawa banyak bentek  yang berisi legen direngkek sepedahnya . Di musim peghujan seperti saat ini,  tak banyak air legen yang bisa didapatkan. Jika musim kemarau air legen melimpah.  Namun  dihari-hari penghujan pohon siwalan penghasil legen itu rupanya ingin beristirahat pula sehingga berproduksi hanya sedikit.
Mbah Saekun melewati pematang tegalan, kemudian berbelok ke jalan setapak yang bersambung dengan jalanan beraspal. Jalanan desa sore itu lengang, hanya beberapa sepeda motor para karyawan pabrik rokok yang pulang kerja. Mbah Saekun melamun, menyusun rencana dalam kepala, akan diolah apa legen yang sedikit itu. Mau tetap dibiarkan jadi legen, air pohon lontar itu tak bisa bertahan lama, dan jika dibiarkan akan berfermentasi jadi tuak.  Dibuat gula merah, tenaga dan biaya yang dikeluarkan tidak sumbut dengan hasilnya. Dibuat tuak, ah mbah Saekun tidak pernah berfikir untuk itu. Keyakinan agamanya mengajarkan bahwa rizki tak boleh didapat dari hal yang dilarang Gusti Pengeran. ‘Sak ithik lalah asal barokah’  begitu ajaran yang mbah Saekun pegang.
Dalam simpulan lamunannya,  Mbah Saekun  akhirnya memutuskan untuk merebus saja legen itu untuk dijadikan kilang. Dengan dikilang, legen itu akan bertahan beberapa hari, dikumpulkan hingga banyak kemudian  diolah kembali menjadi gula merah atau juruh.
Belum buyar juga lamunannya, mbah Saekun  dikejutan suara yang membuat langkahnya terhenti. Suara musik yang  ia tahu tak mungkin dari sound system tetangganya. Jalan itu masih sepi hanya ada dia dan bethek yang menggantung di bahunya. Ia berfikir tak ada orang didekatnya yang sedang membuyikan radio. Ia pun mencari sumber suara. Sebuah HP berwarna hitam mengkilap  menyembul dibalik serakan daun jati kering sisa kemarau kemarin.
Mbah Saekun memunggut HP itu, namun ia bingung apa yang harus diperbuat. Ia belum pernah sekalipun memegang benda itu. Namun ia tahu bahwa benda itu sangat berharga . Benda yang baginya hanya dipunyai oleh orang yang berpunya dan orang yang terpelajar yang katanya banyak urusannya.
Musik di HP itu terus berbunyi. Mbah Saekun semakin mempercepat langkahnya untuk pulang. Paling tidak ada Saipul tetangganya,  yang mbah Saekun tahu akan bisa membantunya.
Selepas sholat magrib, Mbah Saekun pun bertandang ke rumah Saipul yang lulusan STM itu. Ia pun bercerita apa yang terjadi.
Pek wae mbah! HP apik kui, merk terkenal.” kata saipul meyakinkan
“ Tak buat apa tho Pul wong mbahe yo nggak bisa pakai” mbah Saekun menimpali dengan senyum khasnya.
Didol payu larang kui mbah” goda  saipul lagi
“ Tidak ikut punya Pul, nggak ilok!!” Sergah mbah Saekun
“ Ya sudah mbah, kalau begitu kembalikan saja, eman mbah sebenarnya”
Mbah Saekun hanya diam menanggapi
“Tunggu saja mbah! Kalau memang orang yang punya itu merasa butuh dan penting, pasti mencari dan   nanti orang yang punya akan  menghubungi njenengan.
Belum selesai Saipul menjelaskan, HP di tangan Mbah Saekun  kembali berdering. Mbah Saekun  kembali bingung, disodorkan HP itu ke arah Saipul . Dengan sigap Saipul mendekatkan HP ketelinganya. Melalui saluran loudspeaker  mbah Saekun mendengar dengan jelas pembicaraan antara Saipul dan orang di seberang sana.
          Dari pembicaraan mereka, Mbah Saekun tahu bahwa yang menelfon adalah pemilik HP yang ia temukan. Dan orang tersebut berniat mengambil kembali kerumahnya, karena ia tahu Saipul mnyebutkan alamat rumahnya.
          Selepas isya sebuah Avansa berhenti di halaman rumah Mbah Saekun. Rupanya sang pemilik HP itu hendak mengambil HP yang ditemukannya tadi sore.
Pemilik HP memperkenalkan diri sebagai Pak Taufik, menejer di sebuah pabrik rokok. Ia bercerita bahwa tadi siang ia memang bersepeda motor melewati daerah tempat Mbah Saekun biasa mengambil legen tersebut. HP yang ia taruh di saku celana tanpa ia sadari terjatuh.
Setelah bercerita panjang lebar, Pak Taufik mengucapkan terimakasih. Pak Taufik menyerahkan sebuah amplop pada Mbah Saekun. Namun Mbah Saekun menolak dengan halus.
Ngapunten…..mboten usah. saya iklas kok. Kan HP itu kan juga milik pak Taufik sendiri”
“Ini sebagai ucapan terimakasih saya Mbah. Soalnya HP ini penting. Tidak karena harganya tapi isinya. Banyak nomer dan catatan penting”
Mbah Saekun masih menggeleng. Menolak.
Pak Taufik akhirnya menyerah, ia pun berpamitan pada mbah Saekun dan berjanji tidak akan melupakan kebaikan Mbah Saekun.  
“ Mbahe kenapa tho kok nggak mau menerima uang dari orang tadi? kan lumayan mbah!”Protes Nico cucunya yang  sudah SMP.
“ Nggak cung, wong pancen kui HPne wonge dewe. Mbahe kebetulan saja menemukan”
“ Tapi kan ……….sebagai upah menemukan mbah”
“Menolong itu tidak perlu upah le, mau niat menolong ya harus ikhlas, nggak boleh pamrih”
Embuh mbah….ngerti ngono HPne lak tak pek” Nico sang cucu pergi dengan tersungut-sungut
          Seminggu berlalu, Mbah Saekun melakukan rutinitas seperti biasanya. Bekerja di sawah dan mengambil legen.
Sore itu kedatangan Mbah Saekun di sambut pertengkaran dua cucunya yang masih usia TK dan SD. Dafa dan Faris kakak beradik yang tinggal serumah dengan Mbah Saekun.  Dafa menangis karena dikeplak Faris kakaknya.
          Usut punya usut, rupanya dua cucunya rebutan jeruk. Jeruk yang didapatkan Mbah Saekun tadi siang dari berkat hajatan tetangga.
          Mbah Saekun melerai dan menasehati keduanya untuk saling menyayangi dan pentingnya berbagi. Namun jeruk sudah terlanjur habis dan Dafa masih terus menangis. Maka, Mbah Saekun memilih menghibur kedua cucunya.
          “Besok kalau mbah kung punya uang tak  belikan di pasar”
          “Beneran ya kung, belikan dua kilo!?” Tanya Dafa diiantara isak tangisnya.
          “InsyaAllah” jawab Mbah Saekun
          “Sekarang sudah azan, sana ambil sarung ikut sholat! Minta sama Allah supaya mbah kung diberi rizki  biar bisa belikan Dafa jeruk dua kilo? Senyum mbh Saekun.
          Setelah magrib, seperti biasanya mbah Saekun meneruskan aktivitasnya dengan mengaji di rumah. Ia hendak memberi contoh cucu-cucunya untuk membiasakan mengaji sehabis magrib. Sebuah kebiasaan yang sudah mulai langka, yang sudah tergerus  dengan hiburan televisi.
          Mbah Saekun mengakhiri tilawahnya bersamaan dengan suara pintu rumah yang diketuk. Mbah Saekun beranjak dari kursinya. Ia membuka dan mempersilahkan tamunya masuk.
          “Oh pak taufik dan Istri rupanya….monggo…monggo pinarak!”
          “Maaf mbah baru sempat kesini, ini sekalian lewat jadi kami mampir” Senyum Pak Taufik sambil memperkenalkan Istrinya.
          “Dan maaf kami juga tidak bisa lama mbah, mau ada acara.”Lanjut pak Taufik.
          “dan ini oleh-oleh dari kami mohon diterima, ini bukan apa-apa, sebagai tanda persaudaraan saja Mbah” kata istri pak taufik menyodorkan sebuah bungkusan di atas meja.
          “Wah kok malah ngrepoti……terimakasih, insyaAllah ini saya terima”
Pak taufik dan istrinya pun berpamitan. Dua cucunya,    yang sejak tadi imping-imping di balik tirai pembatas ruang tamu pun menyerbu Mbah Saekun.
          “Mbah ayo buka!”
          “Sabar tho le, orangnya saja baru pulang kok”
          “ayo tho mbah” Faris merajuk
          Mbah Saekun pun menuruti permintaan cucu-cucunya. Ada 2 bungkusan didalam bukusan utama. Satu sudah terbuka dan isinya ternyata sebuah kemeja untuk mbah Saekun.
          “yah…..untuk mbah kung”kata dafa kecewa.
           Dan ketika dibuka bungkusan kedua, mereka berseru ”Lha….ini baru untuk kita” mereka tertawa bersama dan mengambil beberapa jeruk secukup tangan mereka.  
“Mbah kung nggak usah belikan, rizkinya datang sendiri kan” kata mbh  Saekun
          “Eh iya Allah itu maha baik ya, kita minta jeruk dua kilo, langsung Allah kasih dua kilo”kata Dafa senang.
“Iya ini gara-gara HP. HP yang berbuah jeruk haha…” tawa Faris disambut tawa Mbah Saekun dan ibu mereka
          “Makanya kalian harus percaya bahwa setiap kebaikan akan dibayar lunas oleh Allah. Kalau nggak sekarang ya nanti, kalau nggak nanti ya dibalasnya di akhirat sana. Kalian yakin kan le?”
Kedua cucu mbah Saekun pun mengagguk mantap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Teras Puisi 2 (Tema Kemerdekaan)