Senja memerah dan semakin pekat. Pertanda malam
hendak datang. Sisa cahaya
matahari menerobos celah dedaunan lontar.
Mbah Saekun pulang dengan gontai memanggul beberapa bethek-nya.
Kali
ini sengaja ia tak membawa sepeda jengkinya, karena ia tak perlu membawa banyak
bentek yang berisi legen direngkek
sepedahnya . Di musim peghujan seperti saat ini, tak banyak air legen yang bisa didapatkan. Jika
musim kemarau air legen melimpah. Namun dihari-hari penghujan pohon siwalan penghasil
legen itu rupanya ingin beristirahat pula sehingga berproduksi hanya sedikit.
Mbah
Saekun melewati pematang tegalan, kemudian berbelok ke jalan setapak yang
bersambung dengan jalanan beraspal. Jalanan desa sore itu lengang, hanya
beberapa sepeda motor para karyawan pabrik rokok yang pulang kerja. Mbah Saekun
melamun, menyusun rencana dalam kepala, akan diolah apa legen yang sedikit itu.
Mau tetap dibiarkan jadi legen, air pohon lontar itu tak bisa bertahan lama, dan
jika dibiarkan akan berfermentasi jadi tuak.
Dibuat gula merah, tenaga dan biaya yang dikeluarkan tidak sumbut dengan hasilnya. Dibuat tuak, ah
mbah Saekun tidak pernah berfikir untuk itu. Keyakinan agamanya mengajarkan
bahwa rizki tak boleh didapat dari hal yang dilarang Gusti Pengeran. ‘Sak ithik
lalah asal barokah’ begitu ajaran
yang mbah Saekun pegang.
Dalam
simpulan lamunannya, Mbah Saekun akhirnya memutuskan untuk merebus saja legen
itu untuk dijadikan kilang. Dengan dikilang, legen itu akan bertahan beberapa
hari, dikumpulkan hingga banyak kemudian
diolah kembali menjadi gula merah atau juruh.
Belum
buyar juga lamunannya, mbah Saekun
dikejutan suara yang membuat langkahnya terhenti. Suara musik yang ia tahu tak mungkin dari sound system
tetangganya. Jalan itu masih sepi hanya ada dia dan bethek yang menggantung di bahunya.
Ia berfikir tak ada orang didekatnya yang sedang membuyikan radio. Ia pun mencari
sumber suara. Sebuah HP berwarna hitam mengkilap menyembul dibalik serakan daun jati kering
sisa kemarau kemarin.
Mbah
Saekun memunggut HP itu, namun ia bingung apa yang harus diperbuat. Ia belum
pernah sekalipun memegang benda itu. Namun ia tahu bahwa benda itu sangat
berharga . Benda yang baginya hanya dipunyai oleh orang yang berpunya dan orang
yang terpelajar yang katanya banyak urusannya.
Musik
di HP itu terus berbunyi. Mbah Saekun semakin mempercepat langkahnya untuk
pulang. Paling tidak ada Saipul tetangganya, yang mbah Saekun tahu akan bisa membantunya.
Selepas sholat magrib, Mbah Saekun
pun bertandang ke rumah Saipul yang lulusan STM itu. Ia pun bercerita apa yang
terjadi.
“ Pek wae mbah! HP apik kui,
merk terkenal.” kata saipul meyakinkan
“ Tak buat apa tho Pul wong mbahe yo nggak bisa pakai”
mbah Saekun menimpali dengan senyum khasnya.
“ Didol payu larang kui mbah” goda
saipul lagi
“ Tidak ikut punya Pul, nggak ilok!!” Sergah mbah Saekun
“ Ya sudah mbah, kalau
begitu kembalikan saja, eman mbah
sebenarnya”
Mbah Saekun hanya diam
menanggapi
“Tunggu saja mbah! Kalau
memang orang yang punya itu merasa butuh dan penting, pasti mencari dan nanti
orang yang punya akan menghubungi njenengan.”
Belum
selesai Saipul menjelaskan, HP di tangan Mbah Saekun kembali berdering. Mbah Saekun kembali bingung, disodorkan HP itu ke arah Saipul
. Dengan sigap Saipul mendekatkan HP ketelinganya. Melalui saluran loudspeaker mbah Saekun mendengar dengan jelas pembicaraan
antara Saipul dan orang di seberang sana.
Dari
pembicaraan mereka, Mbah Saekun tahu bahwa yang menelfon adalah pemilik HP yang
ia temukan. Dan orang tersebut berniat mengambil kembali kerumahnya, karena ia
tahu Saipul mnyebutkan alamat rumahnya.
Selepas isya sebuah Avansa berhenti di halaman rumah Mbah Saekun.
Rupanya sang pemilik HP itu hendak mengambil HP yang ditemukannya tadi sore.
Pemilik
HP memperkenalkan diri sebagai Pak Taufik, menejer di sebuah pabrik rokok. Ia
bercerita bahwa tadi siang ia memang bersepeda motor melewati daerah tempat Mbah
Saekun biasa mengambil legen tersebut. HP yang ia taruh di saku celana tanpa ia
sadari terjatuh.
Setelah
bercerita panjang lebar, Pak Taufik mengucapkan terimakasih. Pak Taufik
menyerahkan sebuah amplop pada Mbah Saekun. Namun Mbah Saekun menolak dengan
halus.
“Ngapunten…..mboten usah. saya iklas kok.
Kan HP itu kan juga milik pak Taufik sendiri”
“Ini
sebagai ucapan terimakasih saya Mbah. Soalnya HP ini penting. Tidak karena
harganya tapi isinya. Banyak nomer dan catatan penting”
Mbah
Saekun masih menggeleng. Menolak.
Pak
Taufik akhirnya menyerah, ia pun berpamitan pada mbah Saekun dan berjanji tidak
akan melupakan kebaikan Mbah Saekun.
“ Mbahe kenapa tho kok nggak
mau menerima uang dari orang tadi? kan lumayan mbah!”Protes Nico cucunya
yang sudah SMP.
“ Nggak cung, wong pancen kui HPne wonge dewe. Mbahe
kebetulan saja menemukan”
“ Tapi kan ……….sebagai upah
menemukan mbah”
“Menolong itu tidak perlu
upah le, mau niat menolong ya harus ikhlas, nggak boleh pamrih”
“Embuh mbah….ngerti ngono HPne lak tak pek” Nico sang cucu pergi
dengan tersungut-sungut
Seminggu berlalu, Mbah Saekun melakukan rutinitas seperti
biasanya. Bekerja di sawah dan mengambil legen.
Sore
itu kedatangan Mbah Saekun di sambut pertengkaran dua cucunya yang masih usia
TK dan SD. Dafa dan Faris kakak beradik yang tinggal serumah dengan Mbah Saekun. Dafa menangis karena dikeplak Faris kakaknya.
Usut punya usut, rupanya dua cucunya rebutan jeruk. Jeruk
yang didapatkan Mbah Saekun tadi siang dari berkat
hajatan tetangga.
Mbah Saekun melerai dan menasehati keduanya untuk saling
menyayangi dan pentingnya berbagi. Namun jeruk sudah terlanjur habis dan Dafa
masih terus menangis. Maka, Mbah Saekun memilih menghibur kedua cucunya.
“Besok kalau mbah kung punya uang tak belikan di pasar”
“Beneran ya kung, belikan dua kilo!?” Tanya Dafa diiantara
isak tangisnya.
“InsyaAllah” jawab Mbah Saekun
“Sekarang sudah azan, sana ambil sarung ikut sholat! Minta
sama Allah supaya mbah kung diberi rizki
biar bisa belikan Dafa jeruk dua kilo? Senyum mbh Saekun.
Setelah magrib, seperti biasanya mbah Saekun meneruskan aktivitasnya
dengan mengaji di rumah. Ia hendak memberi contoh cucu-cucunya untuk
membiasakan mengaji sehabis magrib. Sebuah kebiasaan yang sudah mulai langka,
yang sudah tergerus dengan hiburan
televisi.
Mbah Saekun mengakhiri tilawahnya bersamaan dengan suara pintu
rumah yang diketuk. Mbah Saekun beranjak dari kursinya. Ia membuka dan
mempersilahkan tamunya masuk.
“Oh pak taufik dan Istri rupanya….monggo…monggo pinarak!”
“Maaf mbah baru sempat kesini, ini sekalian lewat jadi kami
mampir” Senyum Pak Taufik sambil memperkenalkan Istrinya.
“Dan maaf kami juga tidak bisa lama mbah, mau ada
acara.”Lanjut pak Taufik.
“dan ini oleh-oleh dari kami mohon diterima, ini bukan
apa-apa, sebagai tanda persaudaraan saja Mbah” kata istri pak taufik menyodorkan
sebuah bungkusan di atas meja.
“Wah kok malah ngrepoti……terimakasih, insyaAllah ini saya
terima”
Pak taufik dan istrinya pun
berpamitan. Dua cucunya, yang sejak tadi imping-imping di balik tirai pembatas ruang tamu pun menyerbu Mbah Saekun.
“Mbah ayo buka!”
“Sabar tho le, orangnya saja baru pulang kok”
“ayo tho mbah” Faris merajuk
Mbah Saekun pun menuruti permintaan cucu-cucunya. Ada 2
bungkusan didalam bukusan utama. Satu sudah terbuka dan isinya ternyata sebuah
kemeja untuk mbah Saekun.
“yah…..untuk mbah kung”kata dafa kecewa.
Dan ketika dibuka
bungkusan kedua, mereka berseru ”Lha….ini baru untuk kita” mereka tertawa bersama
dan mengambil beberapa jeruk secukup tangan mereka.
“Mbah kung nggak usah
belikan, rizkinya datang sendiri kan” kata mbh
Saekun
“Eh iya Allah itu maha baik ya, kita minta jeruk dua kilo,
langsung Allah kasih dua kilo”kata Dafa senang.
“Iya ini gara-gara HP. HP
yang berbuah jeruk haha…” tawa Faris disambut tawa Mbah Saekun dan ibu mereka
“Makanya kalian harus percaya bahwa setiap kebaikan akan
dibayar lunas oleh Allah. Kalau nggak sekarang ya nanti, kalau nggak nanti ya
dibalasnya di akhirat sana. Kalian yakin kan le?”
Kedua cucu mbah Saekun pun mengagguk
mantap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar