buku antalogi pertama yang saya tulis bersama teman-teman "Laskar Geulis" |
Belajar merupakan hal yang
seharusnya tak pernah berhenti untuk dilakukan, karena dengan belajar kita
senantiasa berubah, berusaha mengulik hal yang dulu tak pernah dimengerti
menjadi suatu hal yang sangat dipahami. Dengan belajar, manusia maknai hidup
dari kesalahan yang pernah dilakukan untuk kemudian dicerna dan didur ulang.
Dengan demikian kita terus berusaha untuk tidak siakan diri diombangkan waktu,
menjadi stagnan secara mental. Dengan demikian kita terus belajar membentuk
diri ini menjadi dewasa. Membentuk diri ini menjadi manusia.
Bagi saya,menjadi ustadzah atau guru
adalah salah satu diantara waktu pembelajaran yang membuat saya takjub. Takjub atas banyaknya
hal yang saya dapat, banyaknya perbaikan, dan otomatis, tentu banyaknya
perubahan yang jujur saja membuat diri saya merasa bangga. Bangga atas diri
sendiri dan bukan ditujukan untuk rendahkan orang lain, tak apa kan?. Saya bangga dengan hidup yang
aku pilih saat ini. Menjadi seorang guru! Ya menjadi seorang guru. Profesi
yang tak pernah saya pikirkan
sebelumnya.
Mengingatnya saya jadi ingin
tertawa. Ya, saya pun tertawa. Tepatnya mentertawakan diri saya, karena dulu saya tidak
begitu tertarik dengan profesi ini. Profesi yang tak cukup bergensi bagi saya
juga teman-teman. Satu profesi yang tak pernah masuk dalam kotak cita-cita anak
jaman sekarang . Sampai saya pernah mengatakan pada diri saya”aku tidak mau
jadi guru”. Setelah lulus SMA, saya baru merasakan susahnya mencari jurusan
yang sesuai dengan kemampuan diri dan keuangan keluarga saya. Setelah gagal
masuk akademi kesehatan karena alasan fisik yang tak mendukung, juga gagal
masuk perguruan negeri dengan jurusan yang cukup bergensi tapi gagal karena
keuangan keluarga yang tidak mendukung. Maka jadilah saya masuk jurusan “guru”
yang secara kemampuan diri dan finansial masih dapat dijangkau.
Saya kecewa waktu itu.
Hingga salah satu kakak saya yang
memiliki nasib serupa, mengibur dalam kekecewaan saya”sudahlah..jangan kau iri
dengan mereka-mereka yang berpunya, tapi yakin bahwa menjadi guru adalah jalan yang
terbaik yang Allah pilihkan untukmu, berjuanglah demi bapak, seperti bapak
memperjuangkan hidup kita...bukankah bahagia orang tua itu jalan terang untuk
kesuksesan kita, ‘Nyesss..’kalimat
itu membuatku luluh.
Terkadang, seseorang sering berfikir dua kali sebelum memutuskan
untuk menjadi guru dan mengajar anak-anak apalagi anak-anak balita. Apalagi
jika ada pilihan karir yang bagus. Menjadi guru dan mengajar buakanlah pilihan
karir yang prestise, jarang yang mau memutuskan untuk jadi guru dan mengajar
anak- anak, dengan segala kerepotannya.
Dan kini saya berdiri disini,
menjadi seorang guru. Guru bagi anakku sendiri juga guru bagi murid-murid saya di sekolah. Profesi yang lambat
laun begitu saya cintai. Saya belajar untuk menjadi guru yang baik.Bahkan,
belajar menjadi guru bisa demikian menakjubkan.
Banyak kalimat yang diucapkan oleh bapak saya terpatri di kepala, namun yang dulu tak pernah saya percaya adalah kalimat yang beliau ucapkan “mengajar itu satu kenikmatan, panggilan jiwa yang tak akan bisa kamu lawan”.Ketika itu saya tak merasakan dasyatnya makna dibalik kalimat itu. Tapi Sejak Juni 2005 lalu, hari ketika saya benar-benar berprofesi menjadi guru kalimat itu terngiang-ngiang di hati setiap kali melihat keceriaan anak-anak, melihat takjubnya mereka akan ilmu yang saya bagikan, tergiang-ngiang pangilan penuh cinta mereka. Kalimat itu baru benar-benar aku ketahui makna dan kebenarannya setelah saya menjadi seorang guru. Dengan menjadi guru, saya benar-benar bisa merasakan apa yang bapak atau para guru rasakan pada murid-muridnya, tentang rasa kasih sayang, makna cinta, perhatian, dan pengorbanan.
Banyak kalimat yang diucapkan oleh bapak saya terpatri di kepala, namun yang dulu tak pernah saya percaya adalah kalimat yang beliau ucapkan “mengajar itu satu kenikmatan, panggilan jiwa yang tak akan bisa kamu lawan”.Ketika itu saya tak merasakan dasyatnya makna dibalik kalimat itu. Tapi Sejak Juni 2005 lalu, hari ketika saya benar-benar berprofesi menjadi guru kalimat itu terngiang-ngiang di hati setiap kali melihat keceriaan anak-anak, melihat takjubnya mereka akan ilmu yang saya bagikan, tergiang-ngiang pangilan penuh cinta mereka. Kalimat itu baru benar-benar aku ketahui makna dan kebenarannya setelah saya menjadi seorang guru. Dengan menjadi guru, saya benar-benar bisa merasakan apa yang bapak atau para guru rasakan pada murid-muridnya, tentang rasa kasih sayang, makna cinta, perhatian, dan pengorbanan.
Menjadi guru memang bukan sesuatu
yang gampang, meskipun demikian,saya memberanikan mengambil keputusan ini.
Beruntungnya lagi, Tuhan menempatkan saya disebuah sekolah bernama INSAN KAMIL
ini.Semuanya berjalan cepat, namun durasi itu lambat laun makin membawa saya
pada adegan slow motion di kehidupan saya. Kehidupan saya terasa melambat.
Dalam pandangan mata saya, saya melihat diri saya yang masih grogi berdiri didepan kelas menghadapi
murid-murid saya, belajar mendekati mereka, memahami mereka, hingga panggilan
ustadzah, yang setiap hari memenuhi gendang telinga saya, tangis mereka, tawa
mereka, manja mereka, semua terangkum dan terjadi seperti slow motion tadi.
Sangat lambat. saya menikmati setiap detik kebersamaan bersama mereka, saya
mempelajari setiap gerak-gerik mereka, saya mempelajari kebiasaan
mereka,memahami mereka hingga membuat saya merasa sayalah yang paling tahu
tentang mereka.
Terkadang, seseorang sering berfikir dua kali sebelum memutuskan untuk menjadi guru dan mengajar anak-anak apalagi anak-anak balita. Apalagi jika ada pilihan karir yang bagus. Menjadi guru dan mengajar bukanlah pilihan karir yang prestise, jarang yang mau memutuskan untuk jadi guru dan mengajar anak- anak, dengan segala kerepotannya.
Ketika saya benar-benar berdiri di depan kelas sebagai guru. saya mulai berpikir untuk memutuskan sesuatu. Ya, saya harus siap konsekuensinya. saya harus siap belajar, siap memantapkan hati, memberikan hati ini untuk mereka dan memulai semuanya dari awal.“Jadi guru itu harus siap dididik untuk menerima ilmu yang akan diberikan pada anak-anak, siap jadi sosok yang menyampaikan kebaikan, siap dikendalikan oleh akhlak untuk menjadi tauladan anak-anak”. Pesan seorang guru tawadhu’ kepada saya, yang sampai saat ini masih terus terngiang ditelinga saya.
Terkadang, seseorang sering berfikir dua kali sebelum memutuskan untuk menjadi guru dan mengajar anak-anak apalagi anak-anak balita. Apalagi jika ada pilihan karir yang bagus. Menjadi guru dan mengajar bukanlah pilihan karir yang prestise, jarang yang mau memutuskan untuk jadi guru dan mengajar anak- anak, dengan segala kerepotannya.
Ketika saya benar-benar berdiri di depan kelas sebagai guru. saya mulai berpikir untuk memutuskan sesuatu. Ya, saya harus siap konsekuensinya. saya harus siap belajar, siap memantapkan hati, memberikan hati ini untuk mereka dan memulai semuanya dari awal.“Jadi guru itu harus siap dididik untuk menerima ilmu yang akan diberikan pada anak-anak, siap jadi sosok yang menyampaikan kebaikan, siap dikendalikan oleh akhlak untuk menjadi tauladan anak-anak”. Pesan seorang guru tawadhu’ kepada saya, yang sampai saat ini masih terus terngiang ditelinga saya.
Dengan menjadi guru saya banyak
belajar, belajar tentang banyak hal, belajar yang bukan hanya teori tapi ini
belajar dari sesuatu nyata terpampang didepan saya. Pembelajaran yang mungkin
tak pernah ada dan tak saya dapatkan di bangku kuliah manapun. Pembelajaran
tentang makna keikhlasan, pengorbanan dan dedikasi.Inilah ‘universitas
kehidupan’ saya. Diluar itu saya belajar banyak hal dari anak-anak. Bagi saya,
anak-anak adalah guru terbaik saya. Dari mereka saya belajar mengeja makna
kasih sayang, makna ketulusan , belajar membaca ayat-ayat kauniahnya Allah yang
dibentangkan lewat mereka. Ketakjuban saya atas mereka, membuat saya banyak
bersyukur dan bertadabur. Dari mereka saya dapatkan banyak sekali ilmu yang
mungkin tak akan saya dapatkan kalau saya tak menjadi guru. Saya belajar
menjadi guru mereka, orang tua, sahabat
mereka bahkan menjadi murid mereka.
Sejak itu, murni
karir saya sebagai guru benar-benar saya nikmati, dan mungkin saya baru akan
berhenti jika jasad ini sudah tak bisa berbuat
apa-apa lagi . saya akan tetap jadi guru, entah itu guru untuk
murid-murid saya ataupun jadi guru untuk anak saya sendiri-ini yang
terpenting-. “Saya tak kan berhenti mengajar” patri saya dalam hati. Karena
saat ini, mengajar bukanlah urusan “ini pilihan karir” tapi benar adanya bahwa
“ini pilihan hidup saya !”.
Maka ketika saya harus berhenti mengajar dalam waktu 1,5 tahun karena suatu hal
.pangillan jiwa itu meletup-letup hingga memaksa saya untuk membuat kelas kecil
sendiri dirumah. Mengumpulkan anak-anak desa yang mau saya “ajar”. Itulah
panggilan jiwa yang dikatakan bapak dulu, dan kini saya merasakannya.
Kini menjadi guru,menjadi sebuah hal baru dalam hidup saya. Saya yang dulunya amat meremehkan ilmu pengasuhan anak, sekarang saya harus banyak belajar tentang itu, jika saya dulu dengan mudah melupakan sunah-sunah rasul dan akhlak-akhlak mahmudah, kini saya harus banyak berhati hati karena banyak ‘malaikat-malaikat’kecil yang siap mengawasi setiap gerak-gerik saya. Jika dulu susah sekali menghafal satu ayat ataupun asmaul husna, dengan mereka saya bisa melakukan semuanya. Dan masih banyak lagi.
Yah!Siapa bilang jadi guru itu gampang? orang
seringkali merendahkan profesi mulia ini. Menjadi guru sangat amat tidak
menyenangkan bagi kebanyakan orang sekarang. Karena memang pada dasarnya
menjadi guru itu bukan pekerjaan mudah dan sepele seperti yang dibayangkan.
Dengan gaji yang diperoleh tak seberapa, tanggungan kerja yang luar biasa,
menyiapkan perangkat pembelajaran,dan sebagainya. Butuh seribu kali lipat
kesabaran, butuh seratus kali lipat stamina, dan butuh sejuta kali lipat
keihklasan. Maka ketika seorang teman saya yang bekerja sebagai enterprenuer
sukses bertanya ‘sekarang kerja dimana?’, dengan bangga saya akan menjawab
“jadi ibu dan guru TK”. Bukankah memang sebagai guru menjadi salah satu pekerjaan mulia, setelah kita melakukan kerja
istimewa nan mulia sebagai ibu rumah tangga?.
Kini menjadi guru,menjadi sebuah hal baru dalam hidup saya. Saya yang dulunya amat meremehkan ilmu pengasuhan anak, sekarang saya harus banyak belajar tentang itu, jika saya dulu dengan mudah melupakan sunah-sunah rasul dan akhlak-akhlak mahmudah, kini saya harus banyak berhati hati karena banyak ‘malaikat-malaikat’kecil yang siap mengawasi setiap gerak-gerik saya. Jika dulu susah sekali menghafal satu ayat ataupun asmaul husna, dengan mereka saya bisa melakukan semuanya. Dan masih banyak lagi.
Wajar saja jika seorang
guru yang mendidik muridnya dengan
ihklas sama mulianya dengan para ulama. Bahkan disebutkan bahwa guru itu salah
satu warosatul ambiya’, pewaris para nabi. Karena merekalah yang menyampaikan risalah kebenaran pada
generasi-generasi mendatang. saya memandang anak-anak bukan hanya sebagai objek
mengajar, tetapi juga investasi. Sebagai guru , saya ingin berinvestasi banyak
hal pada anak dan murid-murid saya. saya ingin menitipkan ilmu, keyakinan,
serta amal saya kepada mereka. saya ingin menorehkan lukisan tentang masa depan
mereka, masa depan saya, masa depan bangsa ini tentunya. Masa depan yang tidak
hanya berlaku di bumi melainkan di akhirat. saya berusaha memahat keindahannya
selayaknya saya memahat diri saya sendiri. Berusaha memberi pelajaran terbaik
bagi mereka di kehidupan yang akan berguna untuk akhiratnya. Sebisa mungkin
memperlakukan mereka jauh lebih baik dari memperlakukan diri saya sendiri.
Karena mereka investasi saya. Kepada mereka ridho Allah saya titipkan
Ya, saya berharap Allah berkenan atas jalan yang saya pilih ini, menuntun saya untuk bisa menjadi orang tua dan guru yang bisa teriring doa. “Bismillahi tawakaltu ‘alallah...Ya Allah ijinkan saya beriktiar semampu hamba untuk menjadikan mereka anak yang sholih , cerdas..., hingga layak Engkau kumpulkan saya dengan mereka kelak bersama para Rasul dan Nabi-Mu, para syuhada, orang-orang soleh, serta orang-orang yang Engkau ridhai”, biarlah doa singkat yang mungkin membumbung tinggi itu selalu mengikuti langkah saya. Saya berharap kelak mereka akan menjadi manusia selayaknya rasul yang menyampaikan risalah, menyampaikan kalimat Tuhan, yang senantiasa berjalan lurus menuju Rabb-nya. Menjadi pemberat timbangan amal saya di yaumil akhir nanti.Amin.
(masuk dalam Buku antologi TEKO SANG GURU )
Ya, saya berharap Allah berkenan atas jalan yang saya pilih ini, menuntun saya untuk bisa menjadi orang tua dan guru yang bisa teriring doa. “Bismillahi tawakaltu ‘alallah...Ya Allah ijinkan saya beriktiar semampu hamba untuk menjadikan mereka anak yang sholih , cerdas..., hingga layak Engkau kumpulkan saya dengan mereka kelak bersama para Rasul dan Nabi-Mu, para syuhada, orang-orang soleh, serta orang-orang yang Engkau ridhai”, biarlah doa singkat yang mungkin membumbung tinggi itu selalu mengikuti langkah saya. Saya berharap kelak mereka akan menjadi manusia selayaknya rasul yang menyampaikan risalah, menyampaikan kalimat Tuhan, yang senantiasa berjalan lurus menuju Rabb-nya. Menjadi pemberat timbangan amal saya di yaumil akhir nanti.Amin.
(masuk dalam Buku antologi TEKO SANG GURU )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar