Sabtu, 26 Januari 2019

DUMBEK MBAH SAENAN*




Lorong rumah sakit masih terlihat sepi. Hanya ada beberapa cleaning servis rumah sakit sedang mengepel lantai. Bau karbol pembasmi kuman menyeruak ke seluruh pejuru ruangan. Pikulan mbah Saenan berayun, dua buah keranjang masih penuh dagangan. Berharap hari ini  dumbeknya laku banyak.
“Sarapan  dumbek Mbak, Mas, monggo taseh anget” Tawar mbah Saenan menghampiri beberapa  keluarga penunggu pasien di deretan kamar-kamar rumah sakit.
“Dumbek…dumbek…”suara mbah Saenan mengema, seirama dengan ayunan pikulannya.
“Dumbek Mbah..dumbek…” Suara seorang ibu  dari salah satu pintu kamar rumah sakit. Ibu itu tak berhenti memanggil hingga si mbah menoleh ke arahnya, “dumbeek…!”
“Dumbek bu?”Tanya mbah Saenan begitu sampai di depan wanita yang memanggilnya.
“Iya, dipanggil-panggil kok nggak dengar sih Mbah?” agak sewot ibu berjas putih itu.
“Maaf Bu, sekarang agak berkurang pendengarannya, rodo kopok…maklum wes tuwek he…he…”
   “Ya sudah, berapa perbijinya?
   “Lima ratus yang kecil, seribu yang besar.”Jawab mbah Saenan sambil menunjukan contoh dumbeknya.
  “Kok mahal to mbah kemarin saya beli dipasar, seikat isi sepuluh harganya empat ribu,berarti tiap biji kan empat ratus to mbah?” Mbah Saenan tersenyum, tanda ia tidak tersinggung, sebuah keluhan yang bukan pertama kali dari pembeli dumbeknya.
  “Harga gula jawa naik bu, saya pakek gula jawa asli lho. Kalau dipasar boleh segitu, tapi angkotnya? PP enam ribu kan bu?belum panas-panas mlebu pasar”Tutur mbah Saenan sambil tersenyum, wanita muda itu tersenyum simpul.
  “Waduh..waduh..Mbahe pinter yo? Ya sudah, saya beli lima puluh biji yang besar ya mbah” wanita muda itu memberi uang lima puluh ribuan. Senyum mbah Saenan mengembang
“He..he.. alhamdulillah ada yang beli banyak!. Wah, bungah atiku ditumbasi Bu dokter ikigoda mbah Saenan.
“Ah, saget mawon jenengan Mbah, kebetulan nanti dirumah ada arisan, jadi butuh jajanan pasar yang banyak mbah..
“Hitung-hitung ongkos keringat saya mikul Bu” sahut mbah Saenan sembari menyerahkan bungkusan.
“Makasih ya Mbah.. 
 Sama-sama Bu, ditanggung dumbek saya asli dan rasanya mak nyus he..he..”Kata mbah Saenan semangat sambil menunjukkan jempolnya, dijawab senyum oleh wanita muda itu.
Mbah Saenan, ya begitulah para warga memanggilnya. Seorang kakek tua pembuat dumbek rasa original. Dumbek buatannya terkenal enak, legit dan tidak dicampuri bahan pengawet. Saat pembuat dumbek lain beralih ke pemanis buatan, mbah Saenan mempertahankan rasa manis dumbeknya dari ‘juruh’, larutan gula jawa asli. Mbah Saenan membuat dumbek dibantu oleh Sumi anak perempuannya.
Sudah 30 tahun lebih mbah Saenan menekuni pekerjaan membuat dan menjual dumbek. Karena itu satu-satunya mata pencaharian andalannya. Maklum, mbah Saenan bukan orang kaya, tidak memiliki tanah garapan seperti orang-orang didesanya. Hidupnya selalu pas-pasan. Apalagi sepeninggalan istrinya, mbah Saenan pontang-panting mencari nafkah sendiri. Dahulu, semasa istrinya masih ada, kebutuhan rumah tangga lumayan tercukupi karena istrinya berjualan serabih di pagi hari dan berjualan tahu lontong pada malamnya.
Sesuai panggilannnya, mbah Saenan seorang kakek yang masih rajin bekerja. Kulitnya coklat legam akibat sering tepanggang matahari. Otot-otot legan dan betis yang terlihat menonjol menjadi saksi bahwa ia pekerja keras, membanting tulang tak kenal waktu. Umur tidak menjadikannya menyerah dengan keadaan, apapun ia akan lakukan demi menghidupi keluarganya. Sumi anak semata wayangnya tidak bisa bekerja karena kakinya cacat tidak bisa berjalan jauh dan dua cucunya, anak Sumi, yang ditinggalkan ayah mereka, menantu laki-laki mbah Saenan yang pergi tanpa kabar. 
Setiap hari, sekitar jam 4 sore dumbek mbah Saenan habis terjual walaupun kadang masih tersisa. Setelah berjualan keliling, mbah Saenan langsung menuju tempat petani penjual juruh dan lontar sebagai bahan membuat dumbek. Kemudian pergi ke warung nempur beras dan segala keperluan dapur. Selepas salat magrib mbah Saenan kembali bekerja membuat selontong dumbek dari daun lontar, jam dua pagi malamnya ia bergegas bangun membuat adonan dan mengukus dumbek-dumbeknya. Itulah keseharian dari mbah Saenan, perjalanan hidup yang teratur dan tak berujung.
***
 “Pinten pak??”Tanya Sumi menyambut kedatangan bapaknya. 
 “Tambah mahal Sum, naik lagi, legen gak ada, jadi juruhnya mahal” jawab sang bapak sambil mengeluarkan barang belanjaan dari keranjang.
“Tambah mahal yo pak?” keluh Sumi.
Mbah Saenan kemudian duduk di bale-bale bambu yang ada didapur. Sambil mengipasi tubuhnya dengan kaos yang tengah dipakainya, mata mbah Saenan menerawang.
Nglamun opo to pak?”Tanya Sumi sambil menaruh wedang kopi di samping bapaknya.
“Nggak nduk, cuman mikir kapan hidup kita bisa berubah ya? Bapak ingin kamu dan anak-anakmu senang seperti orang-orang nduk, apa bapak isih iso gawe uripmu mapan?” kata Mbah Saenan menatap Sumi lembut. Sumi balas menatap ayahnya.
“Jangan bilang begitu to pak, ndak baik”Sumi mencoba menghalau bayangan buruk yang tiba-tiba melintas di benaknya, ia tak mampu membayangkan nasib diri dan kedua anaknya jika benar-benar bapak yang jadi harapan keluarga itu benar-benar pergi
“Hidup kita memang ditakdirkan begini yo nduk, kudu nrimo ing pandum” Mbah Saenan tersenyum getir sambil mengelus kaki Sumi yang menjulur diatas bale-bale bambu.Kaki yang sudah jempor sepuluh tahun yang lalu. Setelah jatuh dari sepeda jengki bapaknya, kaki Sumi tiba-tiba tak bisa digerakkan, ia hanya bisa ngesot untuk melakukkan semua aktivitasnya. beberapa tetangganya mengatakan Sumi terkena telung, disantet orang. Tapi seorang mantri di desanya mengatakan itu penyakit polio.
“Eh anak-anakmu mana nduk? Kok dari tadi bapak nggak melihat mereka"
“Lia nonton film kartun di rumah bu Sugik, kasian pak dari kemarin minta dibeliin tv. Dian mancing ning kali, pengen makan ikan mujair katanya. Aku ndak bisa membelikan” Sumi menghela nafas berat
“Alhamdulillah hari ini dumbek bapak laku banyak. Sana belikan sayur sop dan telur untuk lauk, sudah lama Lia dan Dian nggak makan sayur dan telur”
Sumi bergegas memenuhi perintah bapaknya dengar perasaan senang. Mbah Saenan memandangi kaos yang dipakai Sumi. Kaos bergambar salah satu logo partai besar yang turut dalam pemilu lima tahun yang lalu.
Mbah Saenan terdiam, ia kembali melamun.
***
 “Saudara-saudara... jangan lupa nyoblos Pak Sugeng Rahardjo. Coblos nomer tiga…. nomer tiga, bikin rakyat sejahtera, hidup pak Sugeng Rahadjo!!!”
“Hidup...!!!” serentak lapangan ramai dengan pekikan manusia.
 “Hidup, Pak Sugeng !!!” teriak pembawa acara.
  “Hidup!!!”
 Saudara-saudara…Pak Sugeng ini lulusan terbaik S-2 ekonomi, dekat dengan rakyat, tahu penderitaan rakyat kecil. Dia yang akan perjuangkan nasib wong cilik seperti kita, mau sekolah gratis?listrik gratis? Mau sembako murah? mau jalan-jalan di desa kita mulus?mau perempuan-perempuan kita berdaya secara ekonomi?. Pak Sugeng kuncinya, Makanya jangan lupa coblos nomer……??”
“Tiga…!!!Plok…plok…plok…riuh rendah suara penduduk bersautan, membumbungkan harapan-harapan tinggi kepada rakyat.
Dibelakang panggung, terlihat Mbah Saenan dan beberapa bapak-bapak sedang di-breafing seorang tim sukses pemenangan Pak Sugeng.
“Ini buat kalian” kata seorang laki-laki berjas, berbadan tambun memberikan uang limaratus ribu pada mereka dalam sebuah amplop.
“Kalian harus bagikan uang dan beras ini kepara tetangga.Harus rata. Sama ini kaos dan stiker gambar Pak Sugeng, masukkan ke kresek berasnya.Yang uang, hitungannya perkepala 100 ribu sedangkan berasnya sekarung, paham kalian?”
Nggih pak…”kompak mereka menjawab.
“Bagus. Nanti  kalau Pak Sugeng terpilih, kalian pasti akan dapat imbalan lebih dari ini” kata lelaki tambun itu meyakinkan.
“Mbah Saenan bisa jadi juragan dumbek! nggak perlu mikul keranjang kesana-kemari, kamu Pardi, iso dadi juragan siwalan. Kalian tak perlu lagi hidup kere he…he…”        
Mbah Saenan mendengar perkataan laki-laki itu sumringah penuh harap, membayangkan punya industri kecil pembuatan dumbek, pasti ia akan bisa membuka lapangan pekerjaan dengan mengajak beberapa tetangganya. Ia juga tidak akan capek-capek buat selontongan dumbek, bagun pagi-pagi untuk membuat adonan tumbek. Ah, betapa senangnya bila dirinya dan Sumi bisa duduk santai mengawasi para karyawan industrinya sambil nonton TV bersama dua cucunya sambil menyantap makanan enak. Dengan itu, ia akan menjadi agen dumbek pertama dan menjadi produsen bagi para tengkulak dumbek di Tuban. Sungguh, harapan yang sangat indah diusia senjanya.
Hmm….Mbah Saenan tersenyum sendiri membayangkan semuanya.
Lelaki itu melanjutkan, “Makanya kalian harus benar-benar memastikan barang itu tepat sasaran. Satu orang tugasnya satu RT. Kalau Pak Sugeng menang kalian akan hidup enak. Paham to?”sepuluh bapak-bapak yang berjejer di depannya mengangguk-angguk.
***
 Mbah Saenan tergopoh-gopoh menemui Sumi yang sedang ngesot menyapu rumahnya
Sum…Sumi…kita akan hidup enak Sum!”
“Haa…hidup enak pak??jadi kaya gitu pak??”Mbah Saenan mengangguk mantap.
“Kok bisa Pak??bapak ini mimpi ya??” Senyum Sumi memudar takut kecewa dengan perkataan bapaknya.    
 “Kok mimpi to Sum, lihat ini apa yang bapak bawa” kata mbah Saenan menunjukan uang dan karung berisi sembako yang dibawanya.
Ini salah satu buktinya” 
 “Buat kita pak?”Sumi sumringah melihat isi amplop dan isi karung yang menumpuk di depannya.
“Ya ini buat kita, nanti akan datang satu mobil barang-barang untuk bapak bagikan ke tetangga-tetangga kita”
“Iya to?kok enak gitu pak?Lha itu dari mana?”
“Sekarang kan musim kampanye to Sum, Pak Sugeng tetangga kita yang kaya itu mencalonkan diri jadi caleg.Kalau Pak Sugeng menang. Bapak mau dikasih modal berjuta-juta Sum, kita akan kaya Sum!!” kata Mbah Saenan berapi-api.
Sumi mengangguk-angguk percaya dan takjub, ia tak cukup mengerti apa yang dibicarakan bapaknya. Mendengar kata kaya sudah cukup membuat Sumi bahagia.
 ”Wes pokoke…nanti kamu bantu bapak membagikannya keseluruh warga RT kita ya”
Njjih pak, siap!!”Sumi bersemangat.
Malam harinya teras rumah Mbah Saenan ramai dijubeli para warga sekitar.Mereka menunggu antrian pembagian jatah yang dijanjikan.
            Sampun paham sedaya?ampun lali nggih…Bapak-bapak , ibu-ibu pilih nomor telu. Pilih nomor tiga. Coblos pas ditengah gambar Pak Sugeng.Jangan sampai salah diluar kotak nanti nggak sah. Jadi pilih nomer…….”
Telu!!”warga kompak menjawab.
Yo wes….sekarang sudah malam. Ayo semuanya antri, baris yang rapi dan lurus. Iki ono duwit lan beras sekarung, kabeh oleh, soko pak Sugeng” 
Para warga pun bergegas berbaris rapi. Bergiliran Sumi dan Mbah Saenan membagikan uang dan beras sambil sesekali berpesan, “Pilih Pak Sugeng, jangan lupa nomor tiga” penerima uang dan beras spontan mengangguk.
***
 Sekian lama Mbah Saenan termenung di atas dipan teras rumahnya sambil memutar memori lima tahun lalu, saat dimana ia menjadi salah satu tim sukses yang tidak sukses. Seketika mbah Saenan membuang jauh ingatannya.Ah, mengingat-ingat janji-janji manis itu membuat Mbah Saenan lupa belum menyiapkan lontar untuk membuat selontong dumbeknya. Sudah hampir setengah jam mbah Saenan mengenang mimpi indah lima tahun silam yang tak pernah terwujud.
Pupus sudah harapan mbah Saenan pada pak Sugeng yang berhasil menjadi legislatif daerahnya. Wakil rakyat itu telah menjilat seluruh ludah yang telah ia keluarkan. Janji tinggallah janji. Mimpi mbah Saenan menjadi juragan dumbek menguap di antara kulitnya yang makin keriput menua.
Mbah Saenan memakai kembali kaos butut pemberian Pak Sugeng. Semangatnya kembali terkumpul saat ingat ia ingat harus membayar SPP sekolah Dian dan mencari biaya untuk mendaftarkan Lia masuk SD. Mbah Saenan berencana membuat dumbek tambahan untuk dijual di acara kampanye di alun-alun besok. Dengan sigap Mbah Saenan membuat selontong dumbek disambi mencuci beras untuk diselepkan.
“Dumbek…dumbek…”kembali, di pagi bulan April ini pecah dengan lengkingan suara khas Mbah Saenan di antara hiruk pikuk suara nyaring orasi rakyat yang berpesta menyambut pemilu.
Mbah Saenan memutuskan tidak jadi berjualan di alun-alun karena ada kabar bahwa masa partai yang berkampanye sering berbuat anarkis. Ia mencari aman dengan berjualan disekitar perumahan saja. Kali ini pilihanya jatuh pada perumahan elit yang ada ditengah kota Tuban.Ia berharap ada yang membeli dumbeknya.
Mbah Saenan berdecak kagum memasuki komplek perumahan itu
“Wuih…wuih..gumun aku,omah kok apik-apik tenan to yo..tiap halaman mesti ada mobilnya…” sambil mengamati sekitar perumahan yang asri Mbah Saenan terus memikul dagangannya. Tapi, rupa-rupanya perumahan ini sepi. Mbah Saenan pun memutuskan berjualan dipasar.Belum sempat keluar gerbang perumahan, seorang wanita memanggilnya.
“Mbah,dumbek!!!”
Kaget Mbah Saenan mendengar panggilan itu. Hampir ia terjatuh sempoyongan memegangi pikulannya.
“Dumbek bu?” tanyanya pada wanita berdandan cantik.
“Ya,sini mbah..” panggil wanita itu.
Mbah Saenan memandangi rumah wanita yang besar. Mbah Saenan benar-benar kagum.Belum pernah ia melihat rumah semegah dan semewah ini kecuali lihat di TV tetangganya.
“Kayaknya saya belum pernah lihat mbah berjualan disini?”
 Inggih bu….”jawab Mbah Saenan tersenyum.           
 “Berapa satu mbah?”
  “Seribu Bu, kalau mau beli banyak nanti saya kasih diskon”
 Ealah Mbah…Mbah..kayak toko aja, pake diskon segala ha..ha…iya saya borong semuanya”Mbah Saenan tersenyum lebar mendengar itu.
He..he..semuanya??wah ngimpi opo aku dek bengi. Ada acara apa bu kok beli banyak sekali?”
“Ini kan musim kampanye to Mbah. Kebetulan suami saya nyaleg. Jadi ya ini mau syukuran kecil-kecilan ngundang orang-orang biar mendukung suami saya”
Mbah Saenan terdiam. Tak ingin ia bertanya atau ditanyai lagi. Mbah Saenan kapok berurusan dengan orang-orang seperti itu. Tetap menjaga keramahannya, Mbah Saenan berlalu meninggalkan wanita itu. Mbah Saenan mengayun langkahnya cepat berharap segera sampai dirumah menemui anak dan dua cucunya. Lebih baik memikirkan nasib Sumi dan sang cucu daripada memikirkan orang-orang yang suka membuat janji palsu.

*Terinspirasi dari salah satu tetangga yang jualan dumbek, yang biasa menawarkan dagangannya disekitar rumah sakit. Beliau mirip dengan tokoh yang saya gambarkan. Saya sering berjumpa dengannya saat barengan naik Colt menuju Tuban. Beliau suka sekali bicara politik dengan penumpang lainnya, maka dari sosok beliau lahirlah cerpen ini 

Jumat, 25 Januari 2019

IBU, TELADAN TERBAIK BAGI PARA GURU



Tanggal 22 desember selalu diperingati hari Ibu,berbagai acara di gelar. Ribuan ucapan bertebaran di media social untuk menunjukan perhatian dan suka cita terhadap sosok ibu, yang saya yakin sangat berarti bagi semua orang yang menyandang gelar anak.  Sosok yang dalam Islam memiliki derajat yang lebih tinggi tiga kali dari seorang ayah. Sosok yang dinisbahkan bahwa surga ada ditelapak kakinya.
Namun ada beberapa hal yang kadang menggelisahkan. Saya khawatir bahwa peringatan ini hanya menjadi semacam ceremony yang miskin makna. Sebuah peringatan yang  harusnya  menjadi pelajaran bagi kita atas peran seorang  ibu.  Bukan peringatan yang hanya dirayakan dan mengagungkan nama ibu dalam sehari, tapi esensi kedepannya jutru jauh dari itu.
Maka, ada banyak nilai yang harusnya kita petik dari momen hari ibu ini. Sebagai guru kita harus belajar mengambil pelajaran dari sosok guru pertama dan utama ini yaitu IBU.
Dalam khasanah pendiddikan Islam, sosok ibu dikenal sebagai sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Hal ini tentu bukan tanpa alasan, sehingga para guru sebaiknya perlu merenungkan mengapa sosok ibu pantas disebut sekolah/guru pertama dan utama.
Setidaknya ada beberapa hal yang membuat kita para guru harus belajar pada sosok ibu. Pertama, sosok ibu adalah sosok yang terkenal dengan ketulusannya. Ketulusan dalam mendidik adalah hal penting di lakukan oleh guru. Ketulusan adalah energy yang membuat seorang guru mau dengan rela melakukan apapun untuk kemajuan anaknya. Ketulusan yang akan menghapus kelelahan dan kekesalan seorang guru ketika merasa ‘gagal’ mendidik muridnya. Ketulusan inilah yang membuat guru terkenal dengan sebutan pahlawan tanpa tanda jasa. Ketulusan ini berkaitan dengan hati dan kebahagian. Kebahagian yang terpancar kala bisa mendidik murid dengan baik. Tetap bahagia mendidik meski kadang hasil belum sesuai harapan. Tetap bahagia mendidik meski hanya seberapa bahkan tak ada bayaran.
Kedua, seorang guru harus belajar dari sosok ibu tentang kasih sayang. Kasih sayang menjadi landasan seorang ibu merawat, mendidik, menasehati, dan membimbing serta mengarahkan. Kasih sayang  ibu tidak hanya dilihat dari tindakannya, tapi juga dari tatapan matanya dan gaya bicaranya. Di kelas, tatapan seorang guru adalah tatapan yang penuh kasih sayang bukan tatapan yang penuh penekanan apalagi kebencian. Ucapan seorang guru adalah ucapan kasih sayang, bukan ucapan penuh cacian apalagi penghinaan.
Ketiga, para guru harusnya belajar pada sosok ibu tentang kesabaran. Kesabaran seorang ibulah yang mampu membuat seorang anak belajar dari proses yang ada. Kesabaran seorang ibu tak akan membuat anak merasa terpaksa menguasai sesuatu. Maka, kesabaranlah yang membuat seorang pendidik tak berhenti memotivasi muridnya untuk terus berusaha. Kesabaran juga yang akan mengajarkan pendidik untuk menikmati setiap proses pendidikan, bukan jutru berorientasi pada hasil semata dengan cara instan.
Apa jadinya jka seorang ibu tidak pernah bersabar mengajarkan anaknya berjalan? Alih-alih mengajarkan berjalan dengan proses jatuh-bangun, bisa-bisa seorang pendidik akan memberikan cara-cara instan yang bahkan bisa jatuh dalam kecurangan karena tidak sabarnya mengikuti proses jatuh bangun yang harus dilewati muridnya.
 Keempat, yang perlu kita belajar dari sosok ibu adalah tentang kekuatan doa ibu. Ridho orang tua adalah rindonya Allah begitu kata sebuah hadits. Maka, doa seorang ibu adalah doa yang mampu menggetarkan pintu langit. Seorang ibu tak pernah putus mendoakan kebaikan dan kesuksesan bagi anaknya. Sehingga, kita sebagai pendidik, layak kiranya kita mencontohnya. Mendoakan murid-murid kita, untuk kebaikannya tanpa pilih kasih. Balaslah rasa ‘kesal dan marah’ kita dengan doa yang kita berikan untuk mereka.
Marilah kita belajar pada sosok ibunda seorang Imam Besar Masjidil Haram, Syaikh Abdurrahman As-Sudais. As-Sudais kecil dikenal sebagai sosok yang kerap membuat kesal orang tua, terutama ibundanya. Di kisahkan, pada suatu hari As-Sudais kecil bermain pasir dan di rumahnya kedatangan seorang tamu yang merupakan kawan orang tuanya. Saat Ibunda As-Sudais menyiapkan hidangan untuk tamunya dan kemudian menyajikanya,  masuklah sudais kecil kedalam rumah dan menaburkan pasir ke dalam hidangan yang sudah disiapkan ibunya. Lantas apakah yang dilakukan ibunya? Meski kaget dan penuh rasa marah, ibunda As-Sudais malah menganti kemarahannya dengan doa “Pergilah kau nak, semoga Allah menjadikanmu Imam Masjidil Haram” sebuah tindakan mulia yang dilakukan atas dasar ketulusan, kasih sayang dan kesabaran.
Banyak hal lain yang sebenarnya kita pelajari dari sosok ibu, namun empat hal di atas  sudahlah cukup untuk kita belajar, pun belum tentu kita dapat lakukan sebaik seorang ibu melakukannya. Marilah kita menjadi guru yang membuat nyaman murid kita sebagaimana kita nyaman bersama ibu kita. Marilah kita menjadi seorang guru yang terus belajar dari siapapun bahkan dari sosok ibu yang dekat dengan kita, ibu kita sendiri. Selamat hari ibu. 


*Sebuah renungan saya sebagai guru di Hari ibu 22 Desember 2018 

Teras Puisi 2 (Tema Kemerdekaan)