Minggu, 03 Februari 2019

Badai Bahtera


Pagi hari itu pukul delapan, Firda sudah bersiap-siap pergi. Ia mengenakan setelan blezer hijau toska dengan kerudung warna senada. Ada perasaan bangga dalam hati Firda dengan berbagai predikat yang melekat pada dirinya. Cantik dan smart. Ia mengulum senyumnya manis sekali.

Suaminya, Herman yang sejak tadi memperhatikan tingkah istrinya, menyandarkan diri di bingkai pintu kamar sambil terus mengawasi.
Mau kemana dek? Hari sabtu bukakah kamu libur?” Suaranya terdengar berat sehingga membuat Firda menoleh cepat dan menatapnya dengan curiga.
 Tumben nanya, hari ini aku ada undangan ngisi seminar dikampus mas. Ada apa?” Sahutnya.
Setiap hari kerja, hari libur kayak gini mesti ada seminar lah, ngisi traininglah, penyuluhan lah. Masa terus-terusan sich, kapan kamu dirumah, kapan waktu untuk Haikal?”.
Firda menghadapi tatapan tajam suaminya.
”Mas keberatan, bukankah selama ini Mas gak pernah komplain dengan aktivitasku. Kenapa Mas sekarang kok protes sih, mas juga tahu kan kalau aku sibuk akhir-akhir ini jadi tolong mengerti. Bukankah aku kerja dan melakukan ini semua untuk kebaikan kita? Aku Cuma mau…Terangnya pada suaminya, belum habis Ia bicara suaminya sudah memotong kata-katanya.
”Mau bantu nyukupi kebutuhan kita, mau membuktikan bahwa ini emansipasi wanita, iya?!Kata-kata suaminya menohok batinnya.
Firda hanya bisa menelan ludah dan terduduk lemas dengan mata pias disudut kamarnya. Ini memang tidak seperti biasanya, setiap kali Firda berangkat kerja atau pergi memulai aktivitas lainnya tidak pernah ada sapa dari suaminya karena ia biasanya berangkat setelah Herman suaminya berangkat ke percetakan dimana sang suami biasa bekerja.

Firda adalah pekerja disalah satu perusahaan swasta terkenal dengan gaji tinggi, lebih tinggi dari gaji yang diperoleh suaminya dari pekerjaannya. Selain bekerja Firda juga bergelut dengan segudang aktivitas disebuah LSM yang menjadikannya sibuk di luar rumah. Ia merasa bahwa sudah saatnya wanita membuktikan eksistensnya. Dan tiba-tiba pagi ini suaminya mulai mengugat aktivitas yang selama ini dilakukan selama pernikahannya.

“Ah, sudahlah mas ini kita bicarakan nanti-nanti saja. Aku berangkat dulu nanti takutnya terlambat” Firda bergegas meraih kunci mobilnya dan mencium tangan suaminya hambar. Hari ini Ia merasakan ada perasaan ganjil yang menghantui dirinya.
Bayangan suaminya,anaknya yang selama ini tidak pernah mengerti pekerjaannya. Masih terbayang tatapan tajam dan sikap asing suaminya. Namun Ia tetap bersikeras melajukan mobilnya menuju tempat Ia mengisi seminar hari itu.

“Tuan,
Mas Haikal gak mau makan dari tadi rewel saya tidak tahu kenapa tuan,saya bingung” Sapaan pembantunya membuyarkan angan Herman.
Kenapa?Mungkin agak sakit coba dicek badannya atau minta sesuatu.Coba ditanyain mbak?”Respon Herman pada pembantunya.
Tidak tuan tadi sudah saya cek kelihatannya baik-baik saja, dan ketika saya tanya minta apa, mas Haikal diam saja”.

Serta merta Ia beranjak dari tempat duduknya menuju kamar dimana sang anak umur 6 tahun itu sedang terisak menangis.
Kenapa Haikal, kamu minta apa sama papa?”Tanyannya.
Aku gak mau apa-apa,aku cuma kangen sama mama,aku pengen sekali diantar sekolah sama mama kayak temen-temen Haikal” Sedu sedan anaknya.
Herman terhenyak dipelukan anaknya.Ia mendesah lemah dan terlelap dalam kekalutan. Pikirannya mernerawang pada kehidupanya. Hari sabtu ini ia tidak pergi kepercetakan, tempat ia bekerja setiap harinya. Berangkat jam 06.00 dan pulang jam 13.00, kemudian berangkat sore jam 15.00 sampai jam 18.00. begitulah setiap harinya.
Dan hari ini tiba-tiba ia malas untuk bekerja, hatinya tergoda masalah bahtera rumah tangganya. Ia tersadar rumah tangganya yang salama ini ia bangun mulai terhempas badai.

Ah, delapan tahun sudah aku berlabuh didermaga perkawinan, tapi apa yang kudapat dari sana? Rasanya aku masih lemah dan rapuh,aku belum bisa membawa bahteraku kepada pelabuhannya. Herman begitu gelisah memikirkan kehidupan rumah tangganya yang sudah tidak tentram lagi. Herman mulai menyadari Istrinya tiap hari tidak berada dirumah, sedang anaknya mulai bermasalah. Ia merasakan tak ada lagi keharmonisan.

Tiba-tiba Herman melihat sosok tubuh yang berdiri mematung dihadapannya, sosok itu adalah istrinya.
Tidak berangkat kerja mas?” Pertanyaan Firda sepulangnya ia dari seminar.
Untuk apa kerja, toh kamu sudah pandai mencari nafkah. Bukankah rumah tangga kita sudah bahagia dengan hasil kerjamu. Kami sudah terlalu bangga dengan seabrek aktivitasmu.”Kata-kata Herman membrondong.
Rupanya luapan emosi tidak dapat dikendalikan lagi. Sindiran-sindiran halus tapi tegas muncul dari lubuk hatinya. Mendengar kata-kata suaminya Firda tersentak kaget.
“Astagfirullah Mas kenapa jadi berpikir sebegitu naifnya sih?” Cetus Firda dengan memandang tajam kearah suaminya. Firda yang hidup dilingkungan adat jawa merasa tersentuh dengan sindiran-sindiran halus suaminya. Namun, tak kalah halus Firda membalas kata-kata suaminya
Ok, tapi siapa yang selama ini banyak memenuhi kebutuhan kita?Ingat Mas kalau aku gak kerja bagaimana aku bisa menyekolahkan Haikal disekolah yang terbaik, memberikan fasilitas hidup yang terbaik pula untuknya, aku hanya ingin kebahagian untuk kita semua”.
Mendengar jawaban itu Herman menggeram.
“Ah… Aku tak butuh ceramahmu, kau memang tidak pernah bisa menghargai sedikit pun jerih payahku.Dan ingat, bukan kebahagiaan yang kau tawarkan, yang kuinginkan dan yang diinginkan Haikal, tapi lebih dari itu”
Akhirnya kata-kata itu muncul setelah sekian lama dipendamnya.
Iya dan kami, kamu suruh tinggal dikontrakan dan aku mau kau jadikan patung yang senantiasasendiko dawuh dirumah tanpa bisa berbuat apa-apa?”Sahutnya ketus, yang tanpa sadar perang akan terjadi lagi.
Plakk!!” tamparan keras Herman mendarat dipipinya, Firda memegangi pipinya yang serasa panas sambil memandangi suaminya dengan tatapan asing. Nafasnya menderu turun naik.
 “Firda…Firda…ternyata pikiranmu hanya sedangkal itu!kenapa aku baru tahu saat ini!Ah…bodoh sekali aku ini” Suara Herman melemah, ya suara penyesalan. Ia mulai beranjak dari tempatnya dan membiarka Firda menangis sendiri merenungi kejadian itu.

*******************************************
Dipandanginya dengan nanar perahu dilaut yang terombang ambing diterjang ombak. Herman kebingungan, jiwanya terobek-robek. Ia menangis. Bahtera Rumah tangganya terkoyak badai, mengering bagai tanah dikemarau panjang, gersang. Butiran air mata Herman jatuh tetes demi tetes membasahi celananya. mengisyaratkan rasa yang sesal berkepanjangan. Ia sadar atas tuntutan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangganya.
 Ketidak seimbangan, ketidak sependapatan prinsip mengungkap tabir kegelapan.
”Ini masalah dunia akhirat, aku belum berhasil menjadi kepala keluarga yang baik, belum bisa membimbing keluargaku, gimana aku mempertanggung jawabkan ini semua dihadapan Allah nantinya” Desahnya lemah.

Mas kita pulang yuk! sudah sore!” sentuhan lembut istrinya membuyarkan lamunannya. Sang istri menjajari posisi duduknya.
”Maafkan sikapku tadi siang ya Mas bukan maksudku tuk tidak menghargai Mas, tapi sekarang ku sudah sadar, aku ingin jadi permaisuri di rumahmu, aku ingin sekali jadi seorang Istri dan ibu yang sholehan untuk kalian dan…” belum sempat Firda meneruskan kata-katanya, Herman menutup mulutnya dengan jemarinya.
“Sudah gak usah dibahas lagi, kita pulang kasihan Haikal dirumah” Digandengnya tangan Firda dan dipandanginya mata teduh istrinya, Herman berusaha mencari telaga yang sudah lama tak ditemuinya disana. Dan Firda membalasnya dengan senyum yang tulus dan mengangguk pasti.



*LilikIstianahDjaelani
#sedangbelajarartiEmansipasi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Teras Puisi 2 (Tema Kemerdekaan)